Krisis Lapangan Kerja RI, Ekonom Ungkap Persoalan Serius Sektor Ketenagakerjaan


Survei Konsumen Bank Indonesia pada Mei 2025 mencerminkan masyarakat makin pesimistis mendapatkan lowongan pekerjaan. Tercatat, indeks ketersediaan lapangan kerja atau IKLK pada periode tersebut masuk ke level pesimis yakni 95,7, sedangkan zona optimistis harus berada di atas 100.
Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan angka itu menunjukan mayoritas konsumen menilai kondisi ketenagakerjaan memburuk dibanding bulan sebelumnya. “Penurunan ini sangat mengkhawatirkan karena terjadi saat ekonomi seharusnya mulai pulih dan ekspansi fiskal pemerintah terus berlanjut,” kata kepada Katadata.co.id, Jumat (13/6).
Pertumbuhan Ekonomi Belum Cukup
IKLK yang masuk ke zona pesimis itu menunjukkan beberapa persoalan serius dalam sektor ketenagakerjaan. Syafruddin mengatakan pertumbuhan ekonomi yang belum cukup tinggi masih menjadi persoalan untuk menyerap angkatan kerja baru.
Hal ini sebagaimana proyeksi Dana Moneter Indonesia alias yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi hanya 4,7% pada 2025. “Pertumbuhan ekonomi jauh di bawah ambang minimum 5,5% yang dibutuhkan untuk menjaga stabilitas pengangguran,” ujarnya.
Padat Karya Melambat dan Ketergantungan Sektor Informal
Syafruddin menjelaskan saat ini sektor industri padat karya masih melambat karena terbebani oleh biaya logistik. Selain itu ada pula kenaikan bahan baku dan lesunya permintaan global.
Indonesia juga masih menghadapi tingginya ketergantungan pada sektor informal. Padahal sektor ini tidak mampu menyediakan pekerjaan layak dan berpenghasilan stabil. “Ini menyebabkan kualitas lapangan kerja yang tersedia pun terus menurun,” kata Syafruddin.
Kondisi itu diperparah dengan mismatch keterampilan. Banyak lulusan pendidikan tinggi atau vokasi yang tidak terserap oleh industri karena tidak sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.
“Ini diperparah oleh lemahnya sistem informasi pasar tenaga kerja dan minimnya pelatihan ulang yang didanai negara,” ujar Syafruddin.
Minimnya Ketersediaan Lapangan Kerja
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengungkapkan saat ini permasalahan yang muncul yaitu kondisi ketersediaan lapangan pekerjaan yang sangat minim. Belum lagi juga minimnya investasi ataupun perusahaan yang melakukan ekspansi.
“Ini sejalan dengan kondisi PMI manufaktur kita yang berada di level kontraktif atau di bawah 50 poin,” kata Huda.
Kondisi itu menunjukan perusahaan tidak melakukan ekspansi produksi yang menyebabkan permintaan untuk tenaga kerja jadi berkurang. Lalu ditambah maraknya pemutusan hubungan kerja atau PHK di berbagai sektor.
Perlu Menarik Investasi dan Mendorong Sektor Formal
Untuk itu, Huda menekankan, pemerintah harus gencar menarik investasi padat karya untuk masuk ke dalam negeri. Hal ini bisa dilakukan dengan mempermudah birokrasi dan memberantas premanisme harus dilakukan dengan serius.
Ia mengatakan incremental capital to output ratio (ICOR) masih cukup tinggi. “Artinya, ekonomi kita tidak efisien. Salah satu sebabnya karena birokrasi dan perizinan formal dan informal yang memerlukan biaya di luar biaya resmi,” katanya,
Pemerintah juga perlu meningkatkan sumber daya manusia yang sesuai dengan permintaan industri. Menurut Huda, hal ini bisa dilakukan dengan mengembangkan pendidikan vokasi yang sesuai dengan industri di lokasi tertentu.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin mengatakan pemerintah perlu mendorong sektor padat modal dan formal. “Ini seperti manufaktur, infrastruktur, perumahan rakyat, dan ritel,” ujarnya.
Selain itu, insentif dan alokasi anggaran yang memadai perlu diberikan. Pada saat bersamaan, Wijayanto menegaskan, daya beli masyarakat perlu ditopang dengan berbagai kebijakan dan insentif.