Pemerintah Batalkan Diskon Listrik, Stimulus Ekonomi Kuartal II Bakal Efektif?


Pemerintah membatalkan penerapan diskon listrik 50% pada pelaksanaan kebijakan paket stimulus ekonomi Juni-Juli 2025. Sejumlah ekonom mengkritisi keputusan ini tidak akan membuat paket stimulus kuartal kedua berjalan efektif mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai diskon listrik 50% merupakan insentif yang paling efektif untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. “Ini baik dari sisi nilai, ketepatan sasaran, dan keberpihakan pada kelompok ekonomi bawah,” kata Wijayanto kepada Katadata.co.id, Kamis (5/6).
Menurut dia, total paket stimulus ekonomi yang hampir mencapai Rp 25 triliun itu tidak akan mampu mengangkat pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 mendekati 5%.
Bahkan gaji ke-13 untuk aparatur sipil negara (ASN) yang totalnya mencapai Rp 43 triliun juga tidak mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi. “Yg perlu menjadi catatan penting, lima insentif dan gaji ke-13 tersebut adalah kebijakan yang bias ke kelompok pekerja formal dan menengah atas,” ujar Wijayanto.
Batalnya Diskon Listrik Tidak Bisa Tingkatkan Daya Beli
Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan batalnya diskon listrik berpotensi tidak bisa meningkatkan daya beli masyarakat. “Insentif yang awalnya dirancang untuk mendorong daya beli rumah tangga tiba-tiba dipangkas, padahal diskon listrik sangat dirasakan langsung oleh masyarakat luas, terutama kelompok menengah ke bawah,” ucapnya
Dalih pemerintah yang mengalihkan dana diskon listrik untuk memaksimalkan bantuan subsidi upah alias BSU, menurut dia, baru masuk akal kalau pelaksanaanya tepat sasaran dan akuntabel. Rekam jejak distribusi BSU sebelumnya masih menyisakan masalah dalam hal akurasi data penerima dan efektivitas jangka panjang.
Bantuan tersebut lebih menyentuh pekerja formal, sedangkan diskon listrik menjangkau lebih luas, termasuk masyarakat rentan yang tidak tercakup dalam sistem ketenagakerjaan formal.
Dengan demikian, keputusan memprioritaskan BSU perlu dikaji ulang dalam kerangka keadilan sosial dan daya dorong ekonomi. "Efektivitas insentif kuartal II akan sangat bergantung pada distribusi dan kepercayaan masyarakat,” kata Syafruddin.
Anggaran Pemerintah Tidak Siap
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyoroti alasan pemerintah yang memaksimalkan anggaran terhadap BSU sehingga diskon listrik tidak diberikan. “Saya melihat ada ketidaksiapan secara anggaran untuk dapat menggelontorkan uang ke beberapa insentif. Baik BSU maupun diskon tarif listrik memerlukan dana yang besar,” ujarnya.
Huda menjelaskan, BSU bagi pekerja akan berdampak terbatas untuk pekerja yang bergerak di sektor formal saja meskipun kebijakan ini mampu meningkatkan daya beli.
“Dengan batasan gaji Rp 3,5 juta per bulan, maka cakupan pekerja yang mendapatkan juga akan terbatas untuk pekerja di daerah non Jabodetabek dan non kawasan industri Jawa Barat-Banten,” ujar Huda.
Sedangkan untuk upah minimum, Huda menyebut saat ini sudah lebih tinggi dari angka Rp 3,5 juta. Padahal, beberapa pusat kawasan industri padat karya berada di Jabar, Banten, dan Jakarta.
“Jadi saya melihat dampak dari BSU ini sangat terbatas terhadap pertumbuhan ekonomi triwulan II,” kata Huda.