Dinilai Tak Relevan, BPS Diminta Ubah Cara Hitung Angka Kemiskinan

Rahayu Subekti
29 Mei 2025, 14:55
BPS
ANTARA FOTO/Fathul Habib Sholeh/Spt.
Dua anak bermain di pinggir perlintasan kereta di kawasan permukiman bantaran rel, Jakarta, Jumat (9/5/2025). Presiden Prabowo Subianto berupaya memutus rantai kemiskinan melalui program pendidikan berasrama yang ditujukan khusus bagi anak-anak dari keluarga paling tidak mampu, dan mulai bergulir pada Juli 2025 dengan peluncuran sekitar 53-55 sekolah perdana di seluruh Indonesia.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Lembaga riset Center of Economic and Law Studies (Celios) mengusulkan kepada Badan Pusat Statistik (BPS) untuk mengubah metode pengukuran kemiskinan nasional. Celios menilai pendekatan yang digunakan saat ini sudah tidak relevan dalam merepresentasikan realitas kesejahteraan masyarakat Indonesia.

“Celios mengusulkan beberapa langkah strategis, di antaranya melakukan redefinisi cara kita mengukur kemiskinan,” ujar Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar dalam diskusi publik yang digelar Celios, Rabu (28/5).

Menurut Media, Indonesia perlu mengadopsi pendekatan berbasis disposable income, yakni pendapatan yang dapat dibelanjakan setelah kebutuhan pokok dan kewajiban dasar terpenuhi. Ia menyebut pendekatan ini mampu mencerminkan kesejahteraan rumah tangga secara lebih realistis dan adil.

Selain itu, pendekatan tersebut memungkinkan dimasukkannya variabel penting seperti faktor geografis, beban generasi sandwich, serta kebutuhan dasar non-makanan.

Sebagai referensi, Media menyoroti praktik yang dilakukan Uni Eropa dalam mengukur kesejahteraan. “Indikatornya tidak hanya berbasis pendapatan, tetapi juga mencakup literasi, kesehatan, pengangguran, hingga tingkat kebahagiaan,” katanya.

Model seperti ini, lanjut Media, akan memungkinkan evaluasi kebijakan sosial menjadi lebih menyeluruh dan objektif.

Data Kemiskinan Harus Jadi Alat Evaluasi, Bukan Alat Politik

Media juga menegaskan bahwa data kemiskinan seharusnya berfungsi sebagai alat evaluasi kebijakan, bukan sebagai alat politik. Oleh karena itu, data kemiskinan seharusnya digunakan untuk menilai efektivitas sistem pajak dan bantuan sosial dalam mengurangi kemiskinan.

“Dengan membandingkan tingkat kemiskinan sebelum dan sesudah intervensi fiskal, pemerintah dapat mengukur secara akurat efektivitas kebijakan redistribusi,” ujarnya.

Ia mencontohkan, jika program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Program Keluarga Harapan (PKH), atau subsidi pupuk tidak memberikan dampak nyata terhadap penurunan kemiskinan, maka program-program tersebut perlu dievaluasi, bahkan dihentikan.

Sebagai langkah konkret, Celios mendorong penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur pendekatan baru dalam pengukuran kemiskinan.

“Perpres ini akan menjadi dasar koordinatif lintas lembaga dalam menyusun indikator baru, memperkuat integrasi data, serta menyelaraskan seluruh program pengentasan kemiskinan secara nasional,” kata Media.

Data Pengangguran Juga Dinilai Belum Akurat

Celios juga menyoroti permasalahan dalam penghitungan angka pengangguran di Indonesia. Peneliti Celios Bara menyebut bahwa data resmi selama ini belum sepenuhnya mencerminkan realitas pekerja sektor informal.

“Banyak data tidak disampaikan ke publik padahal sangat relevan untuk perumusan kebijakan. Kami temukan proporsi pekerja yang menerima upah di bawah UMR meningkat tajam dari 63% pada 2021 menjadi 84% pada 2024,” kata Bara.

Industri seperti transportasi, pertambangan, dan akomodasi disebut mencatat tingkat overworked tertinggi, dengan rata-rata jam kerja mencapai 48 jam per minggu. Adapun pekerja ojek online (ojol) bahkan bekerja rata-rata 54,5 jam per minggu, dibanding pekerja lainnya yang hanya 41,5 jam per minggu.

“Fakta ini membuktikan bahwa pekerjaan ojol sangat rentan dan belum mendapat perhatian serius dari pemerintah,” ujarnya.

Bara menekankan pentingnya pembaruan data ketenagakerjaan yang lebih akurat, terutama terkait gig economy, yang kini menjadi pelarian utama bagi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) ke pekerja informal.

Metode BPS Dinilai Sudah Ketinggalan Zaman

Celios menilai pendekatan yang digunakan BPS selama ini tidak mampu menangkap kompleksitas kemiskinan era modern. BPS masih mengandalkan dua pilar lama yaitu garis kemiskinan berbasis kecukupan kalori dan indikator kesejahteraan berbasis pengeluaran.

“Ini pendekatan yang sah di era 1970-an,” kata Media. Pendekatan tersebut telah digunakan selama lima dekade sejak penghitungan kemiskinan nasional pertama dilakukan BPS.

Akibatnya, terdapat perbedaan signifikan antara data kemiskinan versi BPS dan Bank Dunia. Menurut BPS, per September 2024, hanya 8,57% penduduk Indonesia atau sekitar 24,06 juta jiwa yang masuk kategori miskin.

Pengukuran itu berbasis pada kebutuhan dasar, yang dihitung dari jumlah rupiah minimum untuk memenuhi kebutuhan makanan dan nonmakanan. Komponen makanan dihitung dari standar konsumsi 2.100 kilokalori per orang per hari dengan komoditas seperti beras, telur, tahu, tempe, dan sayur.

Sementara komponen nonmakanan mencakup kebutuhan dasar seperti tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, dan transportasi. Sebaliknya, Bank Dunia mencatat bahwa 60% penduduk Indonesia atau sekitar 172 juta orang tergolong miskin jika menggunakan standar US$ 6,85 per kapita per hari.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Rahayu Subekti

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...