Banjir Kritikan, Bank Indonesia Jelaskan Alasan Borong SBN di Pasar Sekunder


Bank Indonesia merespons kritik terkait langkah agresifnya membeli surat berharga negara (SBN). Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso menjelaskan bahwa pembelian SBN merupakan bagian dari strategi intervensi tiga jalur atau triple intervention.
“Jadi bagaimana kita intervensi di pasar spot, intervensi di pasar Non-Deliverable Forward (NDF), dan di Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF). Termasuk melakukan pembelian SBN di pasar sekunder,” ujar Denny di Gedung BI, Senin (26/5).
Denny mengatakan, hingga saat ini BI telah membeli SBN di pasar sekunder lebih dari Rp90 triliun. Tujuannya adalah untuk menjaga kondisi likuiditas perbankan agar penyaluran kredit tetap optimal.
“Kami berharap supaya likuiditas itu bisa maksimal untuk disalurkan ke kredit perbankan,” kata dia.
Menurut Denny, langkah ini telah memperhitungkan dampaknya terhadap suku bunga dan stabilitas pasar uang. “Ini menunjukkan bahwa sebenarnya perbankan mampu mengelola likuiditas dengan baik dan gejolak hampir tidak ada di pasar uang domestik,” katanya.
BI Targetkan Beli SBN Rp 150 Triliun di 2025
BI menargetkan pembelian SBN sepanjang 2025 mencapai Rp 150 triliun. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan bahwa hingga 20 Mei 2025, BI telah membeli SBN sebesar Rp96,41 triliun.
Dari jumlah itu, Rp64,99 triliun dibeli dari pasar sekunder, dan Rp31,42 triliun dari pasar primer, termasuk Surat Perbendaharaan Negara (SPN) konvensional dan syariah.
Dia menegaskan bahwa pembelian SBN di pasar sekunder dilakukan untuk memperkuat ekspansi likuiditas kebijakan moneter. "Ini mencerminkan sinergi erat antara kebijakan moneter dengan kebijakan fiskal pemerintah,” kata Perry dalam konferensi pers, Rabu (21/5)
Risiko Tinggi, Independensi Dipertanyakan
Sejumlah ekonom menilai kebijakan ini berisiko dan menimbulkan pertanyaan soal independensi BI. Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai pembelian SBN oleh BI dapat membahayakan perekonomian, terutama karena kondisi fiskal Indonesia yang dinilai sedang kurang sehat.
“Ini kebijakan yang sangat berisiko, apalagi fiskal kita sedang buruk. Sebaiknya pemerintah cooling down dulu. Jika salah perhitungan, perekonomian bisa makin terpuruk,” ujar Wijayanto kepada Katadata.co.id, Jumat (21/2).
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda juga mengkritik pembelian SBN oleh BI, meskipun dilakukan di pasar sekunder. Menurutnya, hal ini tetap harus didasarkan pada strategi makroprudensial BI.
“Jika keputusan tersebut dilakukan demi mendukung program pemerintah, maka tindakan BI bisa dianggap melampaui batas kewenangannya,” ujar Huda.
Ia juga menyoroti rencana BI membeli SBN perumahan yang akan diterbitkan oleh Kementerian Keuangan. “Jika dilakukan di pasar sekunder namun tujuannya sudah ditetapkan di awal, ini yang salah dengan implementasi kebijakan moneter kita,” katanya.