Cukai Hasil Tembakau Berpotensi Turun karena Masyarakat Beralih ke Rokok Murah


Pemerintah berpotensi mengalami penurunan penerimaan cukai hasil tembakau. Prediksi ini muncul dalam paparan Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani saatrapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dalam paparan Askolani, penerimaan cukai hasil tembakau berpotensi turun akibat sejumlah hal. Pertama, tidak ada kenaikan tarif cukai pada 2025 dan berlanjutnya fenomena downtrading.
Downtrading merupakan fenomena masyarakat yang mengalihkan konsumsinya ke rokok yang harganya lebih murah. Hal ini marak terjadi sejak melemahnya daya beli masyarakat.
Fenomena downtrading ini membuat adanya penurunan produksi rokok golongan satu. Hal ini pada akhirnya tidak dapat diimbangi oleh pertumbuhan produksi rokok golongan dua dan tiga.
Berdasarkan data Ditjen Bea dan Cukai, penerimaan cukai hasil tembakau pada kuartal I 2025 tumbuh 5,6% secara tahunan. Namun, pertumbuhan ini dipengaruhi pergeseran pelunasan menjelang Lebaran yakni Rp 4,6 triliun meskipun produksi rokok turun hingga 4,2% secara tahunan.
“Sempat tinggi di 2022 yaitu Rp 218 triliun tetapi kemudian dalam dua tahun kebelakang ini penerimaannya agak turun sedikit pada 2023 hanya Rp 213 triliun dan Rp 216 triliun di 2024,” kata Askolani dalam RDP dengan Komisi IX DPR, Rabu (7/5).
Kebijakan Tarif Cukai Mulai Elastis
Askolani mengungkapkan, kebijakan tarif cukai rokok sejak 2022 hingga 2024 sudah mulai elastis. Menurutnya, dampak dari kebijakan tarif cukai sudah berbeda.
“Dulu berapapun kita naikkan, produksi akan naik tetapi sekarang sudah terasa bahwa dia lebih elastis. Setiap dampak kenaikan tarif cukai itu menyebabkan produksi rokok turun,” ujar Askolani.
Ia menambahkan, produksi rokok di kuartal I 2025 sekitar 4,2%. Menurutnya, hal tersebut disebabkan produksi golongan 1 turun hingga 10,9%. Sementara rokok golongan dua dan tiga naik masing-masing menjadi 1,3% dan 7,4%.