Investasi RI Diminati Pemodal Asing, Rupiah Paling Perkasa di Asia
Nilai tukar rupiah menguat 0,97% ke level Rp 15.295 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan di pasar spot, Rabu sore ini (29/4). Bank Indonesia (BI) melihat kurs rupiah menguat karena minat investor asing terhadap instrumen investasi di Indonesia masih tinggi.
"Ini tecermin dari lelang Surat Berharga Negara (SBN) yang penawarannya masih tinggi yakni Rp 44,4 triliun," Gubernur BI Perry Warjiyo saat konferensi video di Jakarta, Rabu (29/4).
Penawaran SBN tersebut mencapai 2,2 kali lipat dari target pemerintah Rp 20 triliun. Selain itu, penguatan futures saham di Amerika Serikat (AS) dan Eropa dinilai merupakan faktor positif lainnya yang memengaruhi pergerakan nilai tukar.
Alhasil, penguatan rupiah termasuk yang tertinggi di Asia pada perdagangan hari ini. Dikutip dari Bloomberg, yen Jepang naik 0,38%, dolar Singapura 0,26%, dolar Taiwan 0,34%, won Korea Selatan 0,52%, peso Filipina 0,33%, rupee India 0,68%, yuan Tiongkok 0,08%, ringgit Malaysia 0,44%, dan baht Thailand 0,17%.
(Baca: Rupiah dan Mata Uang Asia Menguat Tunggu Hasil Rapat The Fed)
Sedangkan dolar Hong Kong stagnan. Lalu, berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) yang dipublikasikan BI pada Pukul 10.00 WIB, rupiah naik 73 poin ke level Rp 15.415.
Meski begitu, Perry mengungkapkan masih ada beberapa sentimen negatif yang akan mempengaruhi pergerakan rupiah ke depan. Salah satunya, kebutuhan valuta asing (valas) dari korporasi yang relatif tinggi sesuai pola historisnya.
"Memang, menjelang akhir bulan permintaan valas lebih tinggi," kata Perry. (Baca: Rupiah Diramal Menguat Imbas Pelonggaran Lockdown Italia dan Spanyol)
Di sisi lain, langkah pemerintah di berbagai daerah dalam penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) juga akan mempengaruhi mata uang Garuda. Alasannya, sejumlah pelaku pasar mempersepsikan PSBB bakal menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Lembaga rating Fitch memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di level 2,8% pada tahun ini, lebih rendah dibanding 2019. Namun, angka proyeksi ini masih lebih tinggi dibanding perkiraan BI, sekitar 2,3%.
Secara fundamental, Perry menganggap rupiah masih undervalued alias murah. Hal ini didukung oleh defisit transaksi berjalan triwulan I yang diperkirakan lebih rendah dari 1,5% PDB. Secara keseluruhan tahun, defisit diprediksi di bawah 2% PDB.
"Penurunan defisit transaksi berjalan berarti kekurangan devisa akan lebih rendah sehingga mendukung penguatan nilai tukar rupiah ke arah fundamentalnya yakni Rp 15 ribu di akhir tahun," kata Perry.
(Baca: BI Lakukan Quantitative Easing, Total Suntikan Dana ke Bank Rp 503,8 T)