Penerimaan Pajak Berpotensi Hilang Rp 80 Triliun akibat Omnibus Law

Agatha Olivia Victoria
11 Februari 2020, 18:39
pajak penghasilan, tarif pph turun, ruu omnibus law perpajakan, omnibus law perpajakan, potensi penurunan pajak
Arief Kamaludin|KATADATA
Ilustrasi. Ditjen pajak memproyeksi penurunan tarif PPh badan yang termuat dalam RUU omnibus law berpotensi memangkas penerimaan Rp 80 triliun.
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Penurunan tarif pajak penghasilan atau PPh yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang atau RUU omnibus law berpotensi memangkas penerimaan negara hingga mencapai Rp 80 triliun.

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo menjelaskan perhitungan potensi kehilangan penerimaan tersebut baru menghitung dampak penurunan bertahap PPh pajak. Dalam aturan omnibus law perpajakan, tarif PPh badan diturunkan bertahap dari 25% menjadi 22% pada 2021-2022, 20% pada 2023, dan seterusnya. 

Aturan tersebut juga memuat tambahan penurunan tarif PPh bagi wajib pajak go public sebesar 3%, serta penurunan PPh atas dividen dan PPh pasal 26 atas bunga.

"Sekitar Rp 80 triliun karena tarif turun untuk PPh," kata Suryo dalam sebuah diskusi di kantornya, Jakarta, Selasa (11/2).

Menurut Suryo, kehilangan penerimaan pajak tersebut akan terasa pada tahun pertama pemberlakuan penurunan tarif dalam aturan omnibus law yang direncanakan mulai 2021. Adapun pihaknya belum menghitung  pelonggaran pajak lainnya yang diatur dalam RUU tersebut.

(Baca: Ekonomi Stagnan, Sri Mulyani Belum Siapkan Stimulus Pendorong Konsumsi)

Selain terkait pelonggaran tarif PPh, omnibus law akan mengatur sistem teritori untuk penghasilan luar negeri. Terdapat dua penyesuaian,  yaitu penghasilan tertentu termasuk dividen dari luar negeri tidak dikenakan PPh selama diinvestasikan di Indonesia dan penghasilan warga negara asing atau WNA yang merupakan subjek pajak dalam negeri atau SPDN hanya dihitung atas penghasilan dari Indonesia.

Selain itu, bakal terdapat perubahan penentuan subjek pajak orang pribadi. Pada substansi ini diberikan ketentuan yakni warga negara Indonesia atau WNI yang tinggal di Indonesia kurang dari 183 hari di Indensia dapat menjadi subjek pajak luar negeri atau SPLN, sedangkan WNA yang tinggal lebih dari 183 hari di Indonesia menjadi SPDN.

RUU omnibus law juga akan mengatur upaya untuk mendorong kepatuhan wajib pajak dan wajib bayar secara sukarela. "Dalam substansi ini, diatur relaksasi hak pengkreditan pajak masukan bagi pengusaha kena pajak dan pengaturan ulang sanksi administratif pajak, pabean, dan cukai, serta imbalan bunga," kata dia.

(Baca: Sri Mulyani Minta Bantuan Pengusaha Desak DPR Setujui Omnibus Law)

Kemudian aturan ini akan mendorong upaya menciptakan keadilan iklim berusaha di dalam negeri. Rerdapat tiga poin utama, yaitu pemajakan transaksi elektronik rasionalisasi pajak daerah, dan relaksasi penentuan jenis barang kena cukai.

Berbagai fasilitas pajak seperti tax holiday, super deduction, fasilitas PPh untuk kawasan ekonomi khusus, PPh untuk surat berharga negara, dan keringanan atau pembebasan pajak daerah oleh kepala daerah juga akan diatur dalam RUU tersebut. 

Staf Ahli Bidang Pengawasan Pajak Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu menyebut, draf RUU omnibus law terkait perpajakan sudah diserahkan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR pada 31 Januari lalu. "Sehingga proses pembahasannya masih menunggu keputusan Badan Musyawarah atau Bamus DPR," ucap Nufransa dalam diskusi yang sama.

Nantinya, Bamus DPR akan memutuskan apakah RUU Omnimbus Law Perpajakan tersebut akan dibahas di Badan Legislasi, Panitia Kerja, atau Panitia Khusus di DPR.

Reporter: Agatha Olivia Victoria
Editor: Agustiyanti

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...