Pengamat: Iuran BPJS Batal Naik Sebab Pemerintah Tak Lihat Daya Beli
Koordinator Advokasi Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) Timboel Siregar menilai Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tak melihat daya beli masyarakat saat menentukan kenaikan iuran BPJS beberapa waktu lalu.
Pasalnya, aturan yang telah disetujui oleh Presiden Joko Widodo ini akhirnya dianulir oleh Mahkamah Agung (MA) melalui Judicial Review. "Ini artinya Menteri Keuangan tidak bisa melihat daya beli masyarakat," kata Timboel kepada Katadata.co.id, Selasa (10/3).
Pembatalan ini berpotensi menurunkan pendapatan BPJS. Namun, dia menilai hal tersebut dapat diantisipasi dengan mendapatkan dana tambahan dari cukai rokok yang berpotensi mendatangkan dana segar Rp 5 - 6 triliun. Selain itu kualitas pembayaran juga harus ditingkatkan.
Tak hanya itu, pemerintah harus melakukan pengendalian biaya rumah sakit dengan menindak tegas oknum-oknum dokter yang begitu mudahnya mengobral rujukan pada rumah sakit. Hal ini lantaran apapun upaya yang dilakukan pemerintah untuk menekan defisit tak berguna jika tak diimbangi dengan pengendalian biaya.
(Baca: Iuran BPJS Batal Naik, Dana Pemerintah Rp 13,5 T Berpotensi Ditarik)
"Percuma saja kalau pemerintah menaikan iuran tapi pengengendalian biaya tidak dilakukan, defisit pasti akan terus terjadi. Kita tahu sampai sekarang masih banyak fraud terjadi," kata dia.
Lebih lanjut, Timboel menjelaskan bagi masyarakat yang sudah terlanjur membayar kenaikan iuran sejak bulan Januari lalu harus mendapatkan kompensasi yang jelas. Pemerintah harus menaati peraturan ini lantaran telah bersifat final dan mengikat.
Dia merekomendasikan jumlah pembayaran yang telah masuk dapat digunakan untuk menutup tagihan beberapa bulan berikutnya sesuai denyan ketentuan. "Bagi orang-orang yang sudah membayar bulan Januari lalu harus dapat kompensasi untuk beberapa bulan ke depan," kata dia.
Adapun MA telah resmi membatalkan kenaikan iuran Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Ini seiring dikabulkannya peninjauan kembali (judicial review) untuk membatalkan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019.
(Baca: Sri Mulyani Kaji Dampak Pembatalan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan)
Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro mengatakan bahwa putusan ini sudah keluar sejak 27 Februari. Sebelumnya permohonan peninjauan ini diajukan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI).
MA menyatakan ketentuan tersebut yaitu bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28 H Jo, dan Pasal 34 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian bertentangan pula dengan Pasal 2, Pasal 4 huruf b,c,d dan e, Pasal 17 ayat 3 Undang-undang (UU) Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Kemudian Perpres juga dianggap berlawanan dengan Pasal 2, 3, 4 huruf b,c,d, dan e UU Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Pasal 4 Jo, Pasal 5 ayat 2 Jo, Pasal 171 UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
“Menyatakan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres No 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” demikian bunyi dalam amar putusan MA yang diterima Katadata.co.id, Senin (9/3).
Ini berarti iuran BPJS tetap bertahan di tarif sebelumnya yakni Rp 80 ribu bagi kelas I, Rp 55 ribu bagi kelas III, dan Rp 25.500 bagi pasien kelas III.