Pondasi Hukum Koperasi Desa Merah Putih Dinilai Rapuh, Rawan Celah Korupsi


Presiden Prabowo Subianto memutuskan dalam waktu dekat akan meluncurkan operasional 80.133 Koperasi Desa Merah Putih. Rencananya, Kodes Merah Putih secara nasional akan beroperasi pada 28 Oktober 2025.
Persiapan pemerintah dalam membentuk Kopdes Merah Putih menuai kritik dari Center of Economic and Law Studies atau Celios. Dalam riset khususnya, Celios mengungkapkan ada sejumlah risiko hukum yang menanti para kepala desa dalam pelaksanaan Kopdes Merah Putih.
Celios mengungkap ada berbagai cacat hukum, risiko korupsi, potensi pelanggaran pemilihan umum atau pemilu dalam pelaksanaan Kopdes Merah Putih. Kopdes yang dibentuk melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025 itu dibangun di atas pondasi hukum yang rapuh.
“Pembentukan koperasi ini tidak memiliki dasar hukum perundang-undangan yang kuat. Instruksi Presiden dan Surat Edaran bukanlah instrumen yang sah untuk membentuk lembaga baru yang mengelola dana publik,” kata Direktur Hukum Celios, Mhd Zakiul Fikri dalam pernyataan tertulisnya dikutip Rabu (25/6).
Celios mengidentifikasi banyak kebijakan dalam program tersebut bertentangan dengan berbagai Undang-undang seperti UU Desa, UU Perkoperasian, UU Pelayanan Publik, hingga UU Tipikor. Ketidaksesuaian ini tidak hanya berdampak administratif, namun juga membuka jalan terjadinya penyalahgunaan wewenang, pemerasan, dan pengalihan fungsi fiskal desa tanpa dasar hukum yang jelas.
Laporan Celios mencatat setidaknya 15 bentuk pelanggaran hukum yang berpotensi menjerat kepala desa. Beberapa diantaranya yakni penggunaan dana desa secara ilegal, gratifikasi jabatan, hingga penyalahgunaan koperasi untuk kampanye terselubung menjelang pemilu 2029.
Kepala desa yang terlibat dapat dikenakan sanksi mulai dari pemberhentian administratif, denda puluhan juta, hingga hukuman penjara seumur hidup, tergantung tingkat pelanggaran.
Fikri menjelaskan, dana desa digunakan sebagai modal koperasi yang tidak jelas legalitas kewenangannya dan dijadikan jaminan untuk pinjaman ke bank Himbara. Padahal, menurutnya, desa memiliki hak untuk menentukan sendiri arah kebijakan ekonomi lokalnya.
“Tidak ada kewajiban hukum bagi desa untuk mengikuti program yang tidak memiliki dasar legal yang sah,” ujar Fikri.
Ada Risiko Korupsi
Sementara itu, Peneliti Hukum Celios, Muhammad Saleh menjelaskan dalam dua fase utama pembentukan dan penyelenggaraan Kopdes Merah Putih mengandung risiko korupsi.
“Proses pembentukan kerap dilakukan secara formalitas administratif dengan penunjukan pengurus berdasarkan kedekatan politik,” kata Saleh.
Celah korupsi juga muncul dari penggunaan anggaran darurat untuk pendirian koperasi dan pengadaan barang yang disesuaikan dengan alokasi. Hal ini berarti bukan kebutuhan riil masyarakat. Dalam skema penyelenggaraan, koperasi yang dibentuk kerap fiktif atau tidak aktif, namun tetap menerima alokasi pinjaman miliaran dari bank negara.
Celios mencatat potensi kebocoran dana desa sebesar Rp 60 juta per desa per tahun. Angka ini secara nasional dapat mencapai Rp 4,8 triliun per tahun.
Berpotensi Jadi Mesin Politik
Selain persoalan hukum dan korupsi, Celios juga menyoroti kecenderungan Kopdes Merah Putih dijadikan mesin politik menjelang Pemilu 2029.
Berdasarkan temuannya, 35% perangkat desa meyakini bahwa program ini sarat kepentingan politik. Kepala desa yang secara otomatis ditunjuk sebagai ketua koperasi memiliki kuasa terpusat atas distribusi bantuan dan pembentukan loyalitas politik di tingkat akar rumput.
“Kopdes MP menjadi alat mobilisasi politik yang terstruktur, sistematis, dan masif,” kata Saleh.
Saleh menjelaskan, politisasi disebut terstruktur karena dikelola langsung oleh kepala desa dan perangkat yang memiliki jabatan formal. Sistematis karena melibatkan jaringan koperasi sebagai saluran distribusi bantuan, kaderisasi politik, dan kontrol informasi warga.
Sementara itu, masif karena dilakukan di berbagai desa dan dalam jangka waktu panjang menjelang Pemilu 2029.
Dalam simulasi yang dilakukan Celios, dengan asumsi 80 ribu koperasi berdiri dan masing-masing memiliki 100 anggota aktif, potensi mobilisasi suara bisa mencapai 5,6 juta suara. “Angka ini cukup untuk menyumbang hingga 46 kursi di DPR jika disalurkan pada dua partai dominan,” kata Saleh.
6 Temuan Celios terhadap Arah Kebijakan Kopdes
Pertama, Celios mengungkapkan Kopdes Merah Putih dirancang sebagai entitas koperasi dengan dukungan penuh negara melalui dana desa, anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN, serta kredit usaha rakyat alias KUR yang memiliki akses ke berbagai lini usaha seperti distribusi sembako, pupuk, obat-obatan, cold storage, dan pembiayaan mikro.
Kedua, Kopdes Merah Putih diberi mandat tunggal untuk menyalurkan berbagai program pemerintah. Hal ini menggantikan fungsi lembaga desa lain seperti BUMDes atau pelaku usaha lokal.
Ketiga, berdasarkan hasil survei Celios menunjukkan 23% perangkat desa menilai Kopdes Merah Putih menggerus pluralitas pelaku ekonomi desa. Selain itu juga mengganggu pendapatan usaha masyarakat yang telah eksis, termasuk toko kelontong dan apotek lokal.
Keempat, Kopdes Merah Putih secara tidak langsung menciptakan market distortion dan lima diantaranya dibiayai dari utang ke Himbara dengan jaminan pembayaran melalui dana desa. Hal ini menciptakan barrier to entry bagi koperasi atau pelaku usaha lain yang tidak mendapat fasilitas serupa.
Keenam, Kopdes Merah Putih mendapat hak eksklusif mengelola dana besar untuk unit usaha tertentu. Hal ini seperti distribusi obat dan pertanian yang sebelumnya bisa dilakukan pelaku swasta atau BUMDes.