Ciputra (CTRA) Buka Peluang Garap Rumah Subsidi 14 Meter Persegi, Ada Syaratnya


PT Ciputra Development Tbk (CTRA) buka suara soal rencana pemerintah membangun rumah “mini” subsidi dengan luas bangunan hanya mencapai 14 meter persegi. Direktur Ciputra Group Budiarsa Sastrawinata menilai, rumah berukuran 14 meter persegi masih masuk akal.
Adapun dua desain rumah subsidi dengan ukuran kecil besutan Lippo Group. Kedua desain rumah subsidi tersebut berdiri di atas tanah sekitar 25 meter persegi dengan luas bangunan 14 meter persegi dan 26,3 meter persegi.
Budiarsa mengatakan, unit studio di apartemen umumnya memiliki luas serupa. Hunian dengan luas tersebut pun akan lebih mudah lagi dibangun di atas lahan.
Ia mengatakan Ciputra tidak menutup kemungkinan untuk membangun rumah berukuran kecil, tergantung pada kondisi lahan dan regulasi yang berlaku. Jika lokasi tanah sudah memiliki harga yang cukup tinggi, menurut Budiarsa, sulit untuk membangun rumah dengan ukuran sesuai aturan saat ini.
Namun jika ada kebijakan lebih fleksibel, menurut dia, Ciputra akan mempertimbangkan peluang untuk membangun rumah "mini" tersebut.
“Karena kami juga kan melihat kebutuhan masyarakat kalau misalnya kebutuhan untuk itu ada pasti kita sebagai pengembang akan menyambut itu,” kata Budiarsa kepada wartawan di Jakarta, Selasa (17/6).
Ia menilai, hunian berukuran sangat kecil, menurut dia, dapat dibangun dalam bentuk bertingkat sedang atau mid-rise. Namun, ia menyebut biaya konstruksi untuk bangunan mid-rise umumnya lebih mahal dibanding rumah tapak.
Meski harga tanah bisa dibagi ke lebih banyak unit melalui pembangunan vertikal, tetap perlu diperhitungkan trade-off antara biaya konstruksi per meter persegi dan harga lahan.
“Makanya kenapa biasanya orang enggak akan bangun ke atas (rumah bertingkat) selama biaya konstruksi masih lebih tinggi dari harga tanah,” kata Budiarsa.
Apakah hunian minim menguntungkan secara bisnis?
Budiarsa menilai bahwa membangun rumah kecil atau hunian vertikal bisa menguntungkan secara bisnis, tergantung pada lokasi dan harga tanah. Di wilayah dengan harga tanah tinggi, menurut Budiarsa, pengembang cenderung memilih untuk mengecilkan ukuran unit atau membangun ke atas sebagai solusi efisien.
Namun di kawasan seperti Maja, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, di mana harga tanah masih terjangkau, rumah tapak berukuran normal dinilai masih ekonomis.
Budiarsa menyambut positif wacana pelonggaran aturan rumah kecil, selama bukan merupakan kewajiban. Menurutnya, hal ini memberi fleksibilitas bagi pengembang untuk menyesuaikan produk dengan daya beli masyarakat.
“Kalau saya rasa sih mungkin ada tentu kami akan pelajari lebih detail ya sebelum kami melangkah, tapi saya rasa by logic mestinya ada,” ujar Budiarsa.
Pengembang Kecil Sulit Bangun Desain Rumah Subsidi 14 Meter Persegi
Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia sebelumnya menilai desain rumah subsidi seluas 14 meter persegi dapat menjadi jawaban hunian di perkotaan. Namun, desain ini tidak akan dapat digunakan oleh mayoritas pengembang rumah subsidi.
Wakil Ketua Umum Bidang Perizinan, Pertanahan, Advokasi, dan Kebijakan Publik Apersi Mohammad Solikin mengatakan, pengembang rumah subsidi hanya memiliki lahan di luar perkotaan. Sebagian besar lahan perumahan di kawasan perkotaan kini dikuasai pengembang besar.
"Hanya pemerintah daerah dan pengembang besar yang memiliki aset tanah sesuai dengan desain rumah subsidi berukuran 14 meter persegi. Kami akan tetap bermain di pinggiran kota," kata Solikin kepada Katadata.co.id, Jumat (13/6).
Saat ini, 80% anggota Apersi merupakan pengembang perumahaan subsidi. Mereka menyatakan siap menghadapi pengembang besar yang berniat masuk ke pasar tersebut.
Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait mengatakan Lippo Group berminat membangun rumah bersubsidi berukuran 14 meter persegi dengan harga Rp 105 juta per unit. Angka ini di bawah harga maksimal rumah bersubsidi berukuran 36 meter persegi di Jabodetabek, yakni Rp 168 juta per unit.