Proyeksi Saham AADI dan DAAZ Usai Masuk Indeks FTSE, Intip Rekomendasi Analis

Karunia Putri
2 Juni 2025, 09:03
Saham
ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/YU
Kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (17/12/2024).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Dua emiten asal Indonesia masuk dalam daftar FTSE Global Equity Index yang dikelola oleh FTSE Russell, anak perusahaan dari London Stock Exchange Group. Dua emiten yang baru bergabung itu adalah  PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI) dan PT Daaz Bara Lestari Tbk (DAAZ). 

Dalam pengumuman terbaru, FTSE memasukkan saham perusahaan tambang batu bara AADI dalam indeks Small Caps. Sementara saham emiten sektor barang baku DAAZ masuk dalam indeks Micro Caps. Indeks ini akan berlaku hingga 23 Juni 2025. 

FTSE 100 adalah indeks yang berisi 100 perusahaan dengan kapitalisasi pasar terbesar yang tercatat di Bursa Efek London. Untuk dapat masuk ke dalam FTSE Global Equity Index, sebuah perusahaan publik harus memenuhi sejumlah kriteria, salah satunya memiliki jumlah saham beredar di atas 5%.

Masuknya AADI dan DAAZ dalam indeks global ini memicu perhatian investor. Analis MNC Sekuritas Herditya Wicaksana mengatakan update terbaru ini berpotensi mengerek harga saham AADI dan DAAZ.

Herditya memprediksi prospek harga saham AADI akan mencapai level 7.775 hingga 8.300. “Level support berada di 6.650 sementara level resistance berada di 7.550,” tulis Herditya dalam riset yang dikutip Senin (2/6). 

Adapun untuk saham DAAZ, Herditya memandang harga saham akan mencapai level 4.700-5.000 hingga akhir tahun. “Level support berada di 3.640 dan level resistance berada di 4.630,” ujarnya.

Merujuk data perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia, saham DAAZ mengalami kenaikan 1,65% dalam sepekan. Pada 22 Mei Harga saham DAAZ berada di Rp 4.240 naik menjadi Rp 4.310 pada penutupan perdagangan akhir Mei. Sementara dalam sebulan terakhir Harga saham DAAZ sudah naik 6,952%. 

DAAZ merupakan perusahaan yang baru  melantai di Bursa Efek Indonesia pada 11 November 2024. Dalam proses IPO tersebut, perusahaan menawarkan 300 juta saham dengan nilai nominal Rp 100 per saham, setara dengan 15% dari modal ditempatkan dan disetor penuh setelah IPO.

Setiap saham ditawarkan dengan harga Rp 880, sehingga total dana yang diperoleh dari aksi korporasi ini mencapai Rp 264 miliar. Sejak resmi tercatat di BEI, saham DAAZ mencatat harga tertinggi sebesar Rp 7.725 dan harga terendah sebesar Rp 1.375. 

Berbeda halnya dengan DAAZ, saham AADI justru mengalami penurunan 3,99% dalam sepekan terakhir. Sementara dalam satu bulanan, Harga saham AADI mengalami kenaikan 7,73%. 

Lantas bagaimana kinerja kedua perusahaan tersebut?

AADI Catatkan Penurunan Laba di Kuartal I 2025

Sementara itu, mengutip laporan tahunan 2024, AADI menunjukkan performa yang cukup solid sepanjang tahun buku 2024. Perusahaan ini membukukan laba rugi sebesar US$ 1,21 miliar atau setara Rp 19,84 triliun, naik 5,9% dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar US$ 1,14 miliar.

Di sisi lain AADI mencatatkan penurunan pendapatan sebesar 10,1% menjadi US$ 5,31 miliar atau Rp 87,16 triliun dibandingkan pendapatan tahun 2023 yang mencapai US$ 5,91 miliar. Penjualan batu bara masih menjadi kontributor utama terhadap pendapatan perusahaan, baik dari pihak ketiga maupun pihak afiliasi. 

Bersamaan dengan penurunan pendapatan, EBITDA operasional AADI ikut menurun sebesar 19% menjadi US$ 1,31 miliar. Laba inti perusahaan tercatat sebesar US$ 1,04 miliar yang turut dipengaruhi oleh penurunan harga jual rata-rata. 

Meski demikian, Presiden Direktur dan CEO AADI, Julius Aslan, menyatakan bahwa margin EBITDA operasional tetap berada di level sehat, yaitu 25%. Pada kuartal pertama tahun 2025, AADI mencatatkan penurunan laba bersih menjadi US$ 195 juta dari US$ 276 juta pada periode yang sama tahun sebelumnya. 

Pendapatan usaha perusahaan juga turun menjadi US$ 1,16 miliar dari sebelumnya US$ 1,31 miliar. Namun demikian, beban pokok pendapatan perusahaan mengalami penurunan dari US$ 881,5 juta menjadi US$ 817 juta.

Kinerja DAAZ di Kuartal I 2025

Sementara itu, PT Daaz Bara Lestari Tbk (DAAZ) juga mencatatkan kinerja keuangan yang menjanjikan. Dalam laporan keuangan tahun 2024, DAAZ membukukan laba bersih sebesar Rp 608,9 miliar, melonjak 70,8% dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp 356,4 miliar. 

Seiring dengan peningkatan laba, pendapatan DAAZ turut naik sebesar 32,24% menjadi Rp 10,13 triliun dari sebelumnya Rp 7,66 triliun. Beban pokok pendapatan juga meningkat dari Rp 7,01 triliun menjadi Rp 9,10 triliun.

Pertumbuhan pendapatan DAAZ ditopang oleh peningkatan penjualan produk. Penjualan bahan bakar solar naik menjadi Rp 3,71 triliun dari Rp 2,73 triliun. Penjualan bijih nikel meningkat menjadi Rp 3,92 triliun dari sebelumnya Rp 2,8 triliun, sedangkan penjualan batu bara tercatat sebesar Rp 1,16 triliun dari Rp 1,08 triliun. 

Dari lini usaha jasa, DAAZ mencatat pendapatan sebesar Rp 827 miliar dari jasa angkutan umum, serta Rp 502 miliar dari jasa pertambangan. Melihat kinerja kuartal pertama 2025, DAAZ mencatatkan laba tahun berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar Rp 96,9 miliar, naik 77,7% dari Rp 54,5 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya. 

Pendapatan tumbuh signifikan menjadi Rp 3,01 triliun dari sebelumnya Rp 1,93 triliun. Namun, beban pokok pendapatan juga meningkat dari Rp 1,78 triliun menjadi Rp 2,83 triliun.

Dalam keterangan resmi, Direktur Utama DAAZ, Mahan Atanta Sembiring, menyatakan bahwa sepanjang tahun 2024 perseroan berhasil peningkatan permintaan industri terhadap produk layanan. 

“Dengan strategi yang terarah serta efisiensi operasional yang terus ditingkatkan, perusahaan mencatat pertumbuhan positif dalam berbagai aspek, termasuk volume penjualan dan ekspansi kapasitas,” kata Mahan.

Menurut Mahan, DAAZ menyadari adanya tantangan terutama dalam industri nikel nasional yang tengah menghadapi tekanan akibat kelebihan pasokan global. Peningkatan kapasitas smelter dalam negeri disebut berkontribusi terhadap kondisi oversupply, sementara permintaan dari negara pengimpor utama seperti Cina mengalami perlambatan. 

Meskipun menghadapi tantangan tersebut, manajemen DAAZ tetap optimistis. Ia juga mengatakan prospek jangka panjang industri nikel dinilai tetap menjanjikan, didorong oleh peningkatan permintaan global terhadap baja nirkarat dan kendaraan listrik yang memerlukan nikel sebagai bahan utama baterai.

Dengan proyeksi konsumsi bijih nikel domestik yang diperkirakan mencapai 400 hingga 450 juta ton pada tahun 2025, DAAZ berkomitmen untuk terus berinovasi, mendorong hilirisasi, serta meningkatkan nilai tambah produk. 



Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Karunia Putri

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...