Resesi Ekonomi yang Lazim Mengiringi Pandemi Besar di Dunia
Pandemi corona belum juga teratasi. Jumlah kasusnya terus meningkat. Per Senin (23/3) pukul 19.00 WIB, sebanyak 350.452 orang terinfeksi virus itu di lebih 160 negara. Jumlah korban meninggalnya mencapai 15.315 orang dan yang sembuh 100.354 orang.
Dampak ekonomi akibat virus corona tak terbendung lagi. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menghitung ekonomi Indonesia tahun ini akan tertekan hebat. “Pertumbuhannya bisa mencapai 2,5% bahkan sampai 0%,” katanya di Jakarta pada Jumat lalu.
Skenario pertumbuhan dengan angka itu asumsinya adalah masalah virus Covid-19 semakin berat. Artinya, Indonesia tidak mampu menangani pandemi lebih dari enam bulan dan terjadi lockdown alias isolasi secara penuh.
Kondisi tersebut belum ditambah jika perdagangan internasional hanya tumbuh di bawah 30%. Lalu, industri penerbangan mengalami shocked karena turunnya jumlah penumpang hingga 75%. Skenario itu juga mempertimbangkan melemahnya konsumsi rumah tangga. “Juga disrupsi tenaga kerja,” ucap Sri Mulyani.
Harapannya tentu hal itu tidak terjadi. Pemerintah masih optimistis keadaan akan teratasi dan vaksin penangkalnya segera ditemukan. Dengan begitu, paling tidak pertumbuhan ekonomi negara ini bisa di atas 4%.
(Baca: Paket Stimulus Ekonomi Dianggap dapat Bantu Efek Corona )
Saat ini jumlah kasus di Indonesia terus meningkat. Hari ini jumlahnya mencapai 579 orang, seperti terlihat pada grafik Databoks di bawah ini.
Dua bank invetasi besar asal Amerika Serikat, Goldman Sachs dan Morgan Stanley, pekan lalu menyatakan pandemi corona telah memukul telak perekonomian dunia. Aktivitas bisnis banyak yang terganggu karena permintaan turun dan hal itu memicu resesi ekonomi global.
Melansir dari Bloomberg, perdebatannya sekarang adalah seberapa parah dan dalam kerusakannya. Morgan Stanley memproyeksi pertumbuhan ekonomi global turun menjadi 0,9% pada 2020. Goldman Sachs sedikit lebih optimisitis dengan angka di 1,25%.
Apa Itu Resesi Ekonomi?
Resesi, menurut situs Investopedia, merupakan kondisi ketika perekonomian di suatu negara tumbuh negatif selama dua kuartal atau lebih secara berturut-turut. Kondisi itu terlihat dari permintaan melemah, penjualan dan pendapatan bisnis menurun, kegiatan ekonomi berhenti berkembang, dan banyak perusahaan merugi.
Kontraksi siklus bisnis itu bisa dipicu oleh berbagai masalah. Misalnya, krisis keuangan global (2008-2009), perang dagan AS dan Tiongkok (2018-2019), krisis moneter Asia (1998), dan pandemi yang terjadi saat ini.
(Baca: Menyorot Tiga Jilid Stimulus Ekonomi di Tengah Pandemi Corona)
Apakah Setiap Pandemi Sebabkan Resesi?
Hubungan antara virus dan resesi ekonomi telah terjadi berulang kali. National Bureau of Economic Research melakukan studi tentang ini. Lembaga riset nirlaba asal AS ini menemukan paling tidak ada dua kejadian flu yang berakhir dengan kejatuhan kondisi ekonomi.
Pertama adalah Flu Rusia pada 1889-1890. Pandemi ini memakan korban hingga satu juta orang secara global. Penyebarannya begitu masif karena berbarengan dengan kemunculan transportasi massal, yaitu kereta api.
Begitu flu tersebut pertama kali ditemukan di Saint Petersburg, dalam waktu empat bulan virus ini menginfeksi banyak orang di belahan bumi bagian utara. Efek selanjutnya adalah resesi pada kawasan itu yang terjadi pada 1890-1891.
(Baca: Stimulus Tangkal Pandemi Corona, The Fed Pangkas Bunga Mendekati 0%)
Lalu, kejadian Flu Spanyol pada 1918. Kemunculannya di akhir Perang Dunia I dan sebelum resesi kembar pada 1918-1919 dan 1920-1921. Pandemi ini menyebabkan jutaan orang meninggal dunia.
Tapi tentu saja tak semua wabah menyebabkan resesi. Virus sindrom pernapasan akut atau SARS pada 2002 sampai 2003 yang menyerang daratan Tiongkok dan Hong Kong, tak sampai membuat ekonomi global kolaps. Observer.com menulis kepanikan karena virus sangat menular dan mematikan cenderung mendorong ketidakstabilan ekonomi.
Apa yang Terjadi ketika Resesi?
Melansir dari Britannica.com, sektor usaha yang paling terpukul. Siklus bisnis akan turun, begitu pula produksi dan lapangan kerja. Pada akhirnya hal itu membuat pendapatan dan pengeluaran rumah tangga pun anjlok.
Harapan akan masa depan akan terasa suram ketika terjadi resesi. Hal ini yang menyebabkan rumah tangga dan pelaku usaha menahan diri untuk membeli atau berinvestasi dalam jumlah besar.
Efek terbesar adalah bisnis terhenti, banyak pemutusan hubungan kerja, dan kenaikan harga. Jika keadaan seperti ini terus berkembang akan menjadi depresi parah, seperti ketika AS mengalami Depresi Besar pada 1930.
Siapa yang Untung dari Resesi?
TheBalance.com menyebut satu-satunya dampak positif dari resesi adalah kondisi suram ini bisa menyembuhkan inflasi. Pemerintah dan politisi akan memfokuskan anggaran dan belanja negara untuk merangsang ekonomi. Kebijakan itu dapat melalui penurunan pajak, meningkatkan bantuan atau program sosial, dan mengabaikan defisit anggaran.
Investopedia mengatakan ada satu pelajaran utama dari setiap resesi. Pelajaran itu adalah resesi selalu diikuti pemulihan yang cukup besar atau rebound di pasar saham. Karena itu, pelaku pasar sebenarnya tidak bisa duduk diam menghadapi penurunan harga saham yang besar saat ini. Justru sekarang kesempatan mereka untuk mengatur ulang portofolio agar bisa meraih rebound cepat dan kuat.