Transisi Energi Indonesia Tak Boleh Terlalu Bergantung pada AS


Langkah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menarik negaranya dari Perjanjian Paris turut memengaruhi dinamika kebijakan transisi energi global. Namun, pakar menyarankan agar transisi energi Indonesia tidak bergantung pada kebijakan AS dan mengupayakan kekuatan sendiri untuk membiayai program-program yang direncanakan.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Islam International Indonesia (UIII) Philips J Vermonte mengatakan Indonesia perlu berinvestasi sendiri atas program transisi energi yang tengah diusahakan.
“Ketika kita berbicara tentang perlunya pendanaan pinjaman global dan sebagainya, untuk diturunkan ke negara-negara berkembang dalam hal ini pembiayaan program iklim atau mitigasi perubahan iklim dan sebagainya, bukan berarti kita tidak berinvestasi untuk diri kita sendiri,” kata Philips, saat acara Peluncuran Inisiatif KOMITMEN di UIII, Rabu (16/7).
Menurutnya, kontribusi akademisi atau peneliti melalui diskusi dengan hasil rekomendasi juga menjadi salah satu bentuk investasi.
Philips menegaskan, saat ini Indonesia tidak lagi berada di pihak penerima. Indonesia juga berusaha mengisi kekosongan yang ada. Indonesia harus bertindak selayaknya negara-negara G20.
“Saya rasa, sudah terlalu lama juga sangat bergantung pada kontribusi AS untuk begitu banyak inisiatif global,” ujar Philips.
Pada Januari lalu, AS menarik diri dari Perjanjian Paris yang disebut Trump tidak adil dan sepihak. Ia justru berencana menggenjot eksplorasi minyak dan gas di negaranya.
COP29 pada November 2024 lalu menghasilkan sejumlah kesepakatan. Salah satunya adalah keputusan agar negara-negara maju menambah pendanaan iklim menjadi US$ 300 miliar atau Rp 4.881 triliun (kurs Rp16.270/US$) per tahun hingga 2035 untuk negara berkembang.
Sebelumnya, komitmen pendanaan iklim yang disetujui negara-negara maju sebesar US$ 100 miliar (Rp 1.627 triliun) per tahun. Namun, realisasinya masih jauh dari angka tersebut.
Sebagian Negara Justru Lebih Peka Terhadap Kebijakan Iklim
Michiel Schaeffer, Co-Founder Climate Analytics, mengatakan kebijakan iklim terlihat tidak “menarik” bagi Trump. Akan tetapi, ada negara-negara yang justru menaruh perhatian pada kebijakan iklim ini.
“Saya rasa kawasan seperti Eropa lebih sensitif terhadap hal ini. Negara seperti Cina juga lebih sensitif,” tutur Michiel.
Menurut Michiel, daripada melihat pada apa yang terjadi di internasional, fokus pada sisi ekonomi domestik menjadi lebih penting.. Indonesia harus melihat seperti apa yang akan hilang jika tidak berinvestasi dengan baik pada upaya transisi energi.
Tidak tercapainya target seperti yang dicantumkan dalam nationally determined contribution (NDC) baik yang bersyarat maupun tidak bersyarat, akan menyebabkan hilangnya peluang kita," ujar Michiel.