Target EBT dalam RUPTL Terbaru Lebih Rendah dari Komitmen JETP


Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan target penambahan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) dalam rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2025-2034 lebih rendah dari komitmen Just Energy Transition Partnership (JETP) pada 2030.
Pada RUPTL terbaru ini menargetkan penambahan kapasitas pembangkit listrik energi baru dan energi terbarukan (EBT) sebesar 42,6 GW (61%) dan 10,3 GW (15%) penyimpanan daya (storage) yang terdiri dari penyimpanan PLTA terpompa dan baterai.
“Target ini lebih rendah dibandingkan komitmen JETP sebesar 56 GW pada 2030 dan tidak selaras dengan kebutuhan untuk membatasi kenaikan temperatur global 1,5 derajat Celsius, sesuai Persetujuan Paris yang memerlukan sektor kelistrikan mencapai puncak sebelum 2030,” kata Fabby dalam siaran pers, dikutip Rabu (28/5).
Fabby juga menyoroti lemahnya kemampuan eksekusi RUPTL oleh PLN. Ini terlihat dari realisasi pembangkit beroperasi sampai semester pertama 2025 yang hanya mencapai 1,6 GW dari rencana 10 GW dalam RUPTL 2021-2030.
“Salah satu faktor yang mengancam transisi energi Indonesia dan potensi krisis listrik beberapa tahun mendatang adalah ketidakmampuan PLN melakukan lelang pembangkit energi terbarukan dalam skala besar dalam waktu cepat, serta bertele-telenya proses negosiasi power purchase agreement (PPA). Akibatnya realisasi energi terbarukan rendah dan keamanan pasokan listrik jangka panjang terancam,” ujar Fabby.
Dia menyampaikan ada peningkatan kapasitas pembangkit energi terbarukan dalam RUPTL 2025-2034, yang porsinya lebih besar dari RUPTL sebelumnya. Kendati demikian, dia menyebut proporsi batu bara, gas, dan nuklir yang masuk dalam rencana pembangunan di RUPTL masih tergolong besar.
Dia mengkritik masih adanya 2,8 GW PLTU yang beroperasi setelah 2030 yang tidak sejalan dengan target NZE di 2060 atau lebih awal. Menurutnya, kalau konsisten dengan Perpres 112/2022, seluruh PLTU seharusnya berakhir di 2050.
Fabby juga mengatakan masuknya PLTN juga perlu dikaji dengan cermat karena belum adanya keputusan resmi dari presiden, minimnya kerangka regulasi yang mengatur keamanan operasi, adanya risiko keamanan yang tinggi, ketidakjelasan teknologi yang akan dipakai serta penerimaan masyarakat yang rendah.
Selain itu, ketergantungan pada 10,3 GW gas justru berpotensi menimbulkan tantangan serius terhadap ketahanan energi nasional dalam jangka panjang akibat kendala pasokan gas dan harganya yang rentan karena berbagai faktor.
“Saat ini pun PLN menghadapi kesulitan memenuhi ketersediaan gas untuk pembangkitnya. Jika kebutuhan meningkat dua hingga tiga kali lipat ke depan, ancaman dan risiko terhadap terpenuhinya kebutuhan gas PLN akan semakin besar,” ucapnya.
Menurutnya dalam situasi ini, pengembangan energi terbarukan yang lebih besar menjadi pilihan yang lebih rendah risiko karena tidak hanya memperkuat keandalan sistem energi, tetapi juga berkontribusi pada terciptanya biaya energi yang lebih terjangkau bagi masyarakat.
Target RUPTL
Kementerian ESDM telah menyelesaikan RUPTL untuk PT PLN (Persero) 2025-2034. Berdasarkan paparan ESDM, RUPTL terbaru menargetkan penambahan pembangkit listrik naik menjadi 69,5 gigawatt (GW) hingga 2034.
Dari jumlah tersebut, 76% kapasitas pembangkit berasal dari Energi Baru Terbarukan (EBT) dan storage. Komposisi dalam RUPTL terbagi menjadi 42,6 GW untuk pembangkit EBT (61%) dan 10,3 GW untuk storage (15%), serta pembangkit fosil 16,6 GW (24%).
ESDM merincikan lebih lanjut, porsi pembangkit EBT ini terdiri atas beberapa jenis sumber energi. Mulai dari sumber energi surya 17,1 GW, air 11,7 GW, angin 7,2 GW, panas bumi 5,2 GW, bioenergi 0,9 GW, dan nuklir 0,5 GW.
Porsi pembangkit storage 10,3 GW terdiri atas dua jenis sumber energi, yakni baterai 6 GW dan PLTA Pumped Storage 4,3 GW. Sementara untuk pembangkit bersumber energi fosil 16,6 GW juga terdiri atas dua jenis, yakni gas 10,3 GW dan batu bara 6,3 GW.