Meski Harganya Tinggi, PLN Tetap Transisi ke Energi Baru Terbarukan
Perusahaan Listrik Negara atau PLN berkomitmen mencapai target bauran energi dengan mengganti pembangkit listrik berbasis fosil dengan energi baru terbarukan (EBT). Biarpun harga beli listrik berbasis EBT bisa lebih tinggi dengan adanya skema feed in tariff.
Biarpun begitu, Wakil Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan harga beli listrik dari EBT bisa lebih murah untuk memasok listrik ke pelosok daerah dan wilayah terkecil. Sebab, biaya untuk membangun kelistrikan di wilayah terpencil dan terpelosok cukup tinggi.
"Ada daerah-daerah khusus yang penekannya kami sediakan listrik secara cepat. Ini cara satu satunya, renewable energy," ujar Dharmawan saat ditemui di Jakarta, Kamis (6/2).
Apalagi pemerintah akan menetapkan staging tariff dalam skema feed in tariff. Dengan begitu, harga listrik yang dibeli PLN dari pembangkit listrik berbasis EBT semakin lama bakal semakin rendah.
"Kalau dulu kita lihat harga listrik dari pembangkit solar (surya) atap 20 sen dolar AS per kwh turun jadi 10 sen per dolar AS per kwh," ujarnya.
PLN menargetkan bauran energi pada 2025 untuk pembangkit listrik berbasis EBT sebesar 23%. Sedangkan sisanya diisi oleh energi fosil yang terdiri dari gas sebesar 22%, batu bara 55,6%, dan bbm 0,4%.
(Baca: Butuh Rp 11 Triliun, PLN Gandeng Swasta Pasok Listrik ke Wilayah 3 T)
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana menjelaskan harga beli listrik yang berlaku dalam skema stagging tariff dibagi menjadi dua periode. Dalam 12 tahun pertama, harga jual listrik dari pembangkit EBT akan cukup tinggi. Setelah 12 tahun, harga beli listrik akan turun dan tidak berubah hingga kontrak berakhir.
Rida mengatakan skema tarif tersebut diterapkan agar investor tertarik mengembangkan pembangkit listrik berbasis EBT di Indonesia. Sebab, investasi untuk membangun pembangkit listrik dari EBT cukup tinggi.
Dengan skema tersebut, pemerintah berharap investor bisa mendapatkan pengembalian modal lebih cepat. "Iya cuma dua tahap saja, agar modal pengembang cepat balik," kata Rida.
Sedangkan skema penetapan harga beli listrik dari pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) akan diatur khusus. Ini lantaran pengembangan panas bumi mempunyai tingkat risiko yang berbeda dibandingkan energi bersih lainnya.
"Ini lebih mirip migas. Kami masih cari tahu bagaimana peran pemerintah bisa masuk ke tahapan eksplorasi," ujar Rida.
Menteri ESDM Arifin Tasrif sebelumnya mengatakan pemerintah tengah mengkaji kemungkinan pengembangan panas bumi menggunakan skema kontrak cost recovery. Pemerintah ingin membuat skema kontrak yang menguntungkan bagi semua pihak.
(Baca: BKPM Sebut Realisasi Investasi di Daerah Terkendala Pasokan Listrik)