Masyarakat Sipil Usulkan Solusi Guna Ulang dalam Pertemuan WEF

Ajeng Dwita Ayuningtyas
4 Agustus 2025, 09:14
Tiza Mafira dari Dietplastik Indonesia mengusulkan solusi guna ulang sebagai solusi dari masyarakat sipil untuk mengatasi polusi plastik. Hal itu disampaikan Tiza dalam Beating Plastic Pollution: Solutions Day di World Economic Forum (WEF), Jenewa, Swiss,
Dietplastik Indonesia
Tiza Mafira dari Dietplastik Indonesia mengusulkan solusi guna ulang sebagai solusi dari masyarakat sipil untuk mengatasi polusi plastik. Hal itu disampaikan Tiza dalam Beating Plastic Pollution: Solutions Day di World Economic Forum (WEF), Jenewa, Swiss, pada 3 Agustus 2025.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Koalisi masyarakat sipil Indonesia mengusulkan solusi guna ulang sebagai tindakan proaktif untuk mengurangi polusi plastik. Hal itu disampaikan dalam World Economic Forum (WEF) di Jenewa, Swiss, pada Minggu (3/8).

Tiza Mafira dari Dietplastik Indonesia mengatakan solusi guna ulang merupakan solusi dari akar rumput yang telah dilakukan selama lebih dari satu dekade.

“Masyarakat tidak menunggu. Kami sudah membangun sistem pengganti plastik sekali pakai,” tutur Tiza dalam sesi Solutions Day World Economic Forum, di Jenewa, Swiss, pada Minggu (3/8).

Ia juga menyoroti dua perspektif berbeda dalam negosiasi perjanjian pengurangan polusi plastik. Sebagian pihak mendorong pelarangan plastik dan bahan kimia berbahaya dari hulu, sementara sebagian lainnya hanya fokus pada pengelolaan sampah di hilir.

Menjelang Intergovernmental Negotiating Committee (INC) 5.2 Plastics Treaty, Tiza mengusulkan beberapa hal, yaitu guna ulang wajib menjadi target nasional, pelarangan penggunaan plastik sekali pakai yang bisa dihindari, serta menghapus subsidi terhadap produk plastik dan extended producer responsibility (EPR) lebih tinggi untuk plastik berisiko.

Sejalan dengan hal itu, United Nations Environment Programme (UNEP) juga menekankan pentingnya target reuse, EPR, dan pedoman global agar industri lebih proaktif berinovasi.

Dari perspektif perusahaan, SC Johnson mengusulkan penggunaan mekanisme permintaan untuk mengurangi plastik baru. Hal tersebut dapat dicapai dengan menerapkan target post-consumer recycled (PCR), larangan penggunaan bahan berbahaya, serta insentif guna ulang. 

Sistem Guna Ulang Butuh Dukungan Kebijakan dan Ekonomi

Beberapa waktu lalu, Asosiasi Guna Ulang Indonesia (AGUNI) telah diluncurkan dengan sepuluh anggota usaha. Di tingkat Asia, Asia Reuse Consortium juga telah terbentuk dengan 5 negara anggota, yaitu Indonesia, Vietnam, Filipina, Thailand, dan India.

Pada lingkup yang lebih luas, Global Reuse Alliance tengah dirintis. Kelompok ini akan menghubungkan enam jaringan regional.

Kesiapan yang sudah muncul dari masyarakat sipil, masih membutuhkan dukungan kebijakan dan ekonomi dari pemerintah. Sejauh ini dukungan finansial tergolong minim, meskipun sistem guna ulang berkontribusi pada penciptaan lapangan pekerjaan hijau.

World Plastics Council juga menyoroti pentingnya kejelasan regulasi dan investasi yang adil untuk infrastruktur sampah di negara berkembang. Hal ini belum tercapai meskipun industri menyatakan kesiapan untuk investasi sirkular.

Oleh karena itu, INC 5.2 ini harus dimanfaatkan untuk menghasilkan perjanjian yang mendukung sistem guna ulang. Dukungan tersebut dapat berupa penyesuaian skema pembiayaan berdasarkan hierarki pengelolaan sampah, dari reduce, reuse, recycle, baru disposal.

Dukungan terhadap inovator akar rumput, UMKM, serta infrastruktur guna ulang juga perlu ditingkatkan untuk mengoptimalkan solusi lingkungan dan ekonomi sirkular. 

Sejauh ini, sebagian besar dana justru dikucurkan untuk solusi-solusi di akhir, seperti pembakaran sampah. Paparan The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan Circulate Initiative menunjukkan bahwa dana pembangunan di ranah isu plastik masih kurang dari 0,5% Official Development Assistance (ODA) global.

Sebanyak 83% investasi swasta justru menyasar ke solusi hulu, yaitu daur ulang. Asia hanya menerima bantuan sebesar 5%, sementara Afrika bahkan hanya 0,5%.

Situasi tersebut menunjukkan perlunya peran kebijakan dan ekosistem investasi yang kuat, blended finance untuk mengurangi risiko investasi di solusi hulu, serta mengarahkan kembali dana pengembangan untuk reuse dan redesign. 

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Ajeng Dwita Ayuningtyas

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...