Aktivis Lingkungan Desak Pemerintah Selesaikan Masalah Sampah dari Hulu

Ajeng Dwita Ayuningtyas
28 Juli 2025, 08:51
sampah, sampah plastik
ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/agr
Pekerja memilah sampah plastik di salah satu tempah penampungan Bank sampah Dolah Recyle di Desa Meureubo, Kecamatan Meureubo, Aceh Barat, Aceh, Rabu (22/1/2025).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Juru Kampanye Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) Jakarta, Muhammad Aminullah, mengingatkan pemerintah Indonesia untuk mengutamakan penyelesaian sampah dari hulu atau sumber. Strategi ini perlu dilakukan karena penyelesaian sampah di hilir cenderung sulit, mahal, dan menimbulkan dampak negatif baru.

“Solusi pemerintah sebagian besar di hilir, kalau di hulu baru ada peta jalan, itu pun voluntary untuk pengurangan sampah plastik oleh industri,” tutur pria yang akrab disapa Anca, saat diskusi di Pawai Bebas Plastik, Minggu (27/7).

Regulasi mengenai pengurangan sampah oleh produsen, salah satunya termuat dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.75 tahun 2019. Dalam aturan tersebut, produsen harus mencapai target pengurangan sampah sebesar 30% pada 2029.

Meskipun demikian, Anca menyoroti belum adanya transparansi data perihal perusahaan mana saja yang telah memilikinya dan strategi apa yang dilakukan industri. Di samping itu, regulasi yang sudah ada masih membutuhkan implementasi yang ketat.

“Tidak cukup kita menghilangkan sampah yang sudah ada, tapi juga mencegah sampah itu diproduksi. Itu yang perlu juga masuk dalam tata kelola sampah, misalnya mengatur industri, produsen. Sebenarnya sudah diatur tapi kan implementasinya belum begitu kuat,” ujarnya. 

Bersamaan dengan itu, pemerintah perlu menyelaraskan kembali prinsip zero waste yang ingin dikejar. Ini diperlukan sebab ada cara pandang berbeda hingga berpengaruh pada kebijakan yang dikeluarkan, antara menghilangkan sampah yang sudah ada atau mengurangi produksi sampah.

Solusi Palsu di Hilir

Menurut Juru Kampanye WALHI Indonesia, Dwi Sawung, solusi seperti mengubah sampah menjadi energi listrik, pembakaran sampah dengan metode insinerator, dan refuse derived fuel  (RDF) adalah solusi palsu. Solusi-solusi yang ditawarkan membutuhkan sampah untuk beroperasi. Oleh karena itu, sampah akan terus dibutuhkan ke depannya.

Selain itu, proyek tersebut dinilai hanya mengubah polusi dalam bentuk lain. Pengoperasian insinerator mengakibatkan polusi udara yang merugikan masyarakat.

Keberadaan insinerator di Sukmajaya, Depok, masih terus menerima penolakan dari warga. Salah satu warga Sukmajaya, Andre, mengungkapkan pembangunan insinerator tidak melibatkan warga melalui diskusi maupun sosialisasi. 

Setelah beroperasi, Andre menyatakan bahwa warga harus menanggung polusi udara yang dihasilkan.

“Dari dampak yang kita rasakan, anak-anak ISPA, orang tua, lansia, banyak yang terganggu pernapasannya,” ujar Andre.

Lokasi insinerator juga dinilai tidak tepat. Selain dekat dengan pemukiman, insinerator juga dekat dengan area UMKM, area olahraga, dan kegiatan masyarakat lainnya.

Langkah-langkah yang diambil pemerintah juga bertolak belakang. Beberapa kebijakan mengharuskan daerah mengelola sampah secara mandiri. Sementara itu, pemerintah mengebut proyek pengolahan sampah berbasis termal yang mana membutuhkan sampah sebagai pasokan.

“Karena ketika mengoperasikan RDF, PLTSa (pembangkit listrik tenaga sampah), dia membutuhkan sampah, itu artinya akan ada perebutan sampah antara RDF maupun bank sampah,” tambah Anca.

Kenali Karakteristik Sampah, Susun Jalan Cerdik

Menurut Sawung, pemerintah perlu kembali mengenali karakteristik sampah di Indonesia yang sebagian besar merupakan sampah organik. Pengelolaan jenis sampah ini justru membutuhkan biaya yang sedikit dan mudah dilakukan masyarakat. 

“Yang paling dasar kita harus tau itu sampahnya apa, baru kita bisa menentukan teknologi apa yang akan dilakukan. Itu yang tidak dibaca oleh pengambil kebijakan di Indonesia,” ujar Sawung.

Sawung menambahkan, ada tahap pengelolaan sampah sebelum siap diolah menjadi energi. Hal ini seringkali luput diperhatikan, sehingga implementasi teknologi menjadi tidak tepat. 

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Ajeng Dwita Ayuningtyas

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...