Wamen LH Sebut Swasta Punya Ruang Kelola Sampah di Daerah


Wakil Menteri Lingkungan Hidup Diaz Hendropriyono menuturkan, timbunan sampah di Indonesia menjadi salah satu faktor tingginya suhu saat ini. Sebagai salah satu penyumbang emisi terbesar, sampah menghasilkan senyawa metana (CH4) yang merupakan gas rumah kaca.
Efek gas metana diketahui 84 kali lebih berbahaya daripada karbon dioksida (CO2) dalam jangka 20 tahun.
“Satu ton sampah padat bisa mengeluarkan sekitar 1,7 ton CO2e ke atmosfer. Jakarta memproduksi 7.500 ton per hari. Sampah nasional yang masuk ke TPA sudah mencapai 56 juta ton dan menumpuk hingga 1,6 miliar ton, semuanya menghasilkan gas metana. Bagaimana Indonesia enggak makin panas?” kata Diaz, dalam forum Indonesia Corporate Sustainability Outlook 2025, di Jakarta, Kamis (24/7).
Saat ini pemerintah tengah membina 343 TPA open dumping serta mendorong pembangunan waste to energy di daerah dengan timbunan sampah lebih dari 1.000 ton per hari. Diaz menyebut bahwa swasta punya peluang untuk mengelola sampah di daerah dengan timbunan sampah kurang dari 1.000 ton per hari.
“Sebenarnya ada banyak business opportunities. Di berbagai daerah yang menghasilkan sampah di bawah 1.000 ton per hari, ada peluang besar untuk mengembangkan pengolahan sampah, seperti melalui teknologi Refuse Derived Fuel (RDF). Ini jadi kesempatan nyata bagi pelaku usaha,” ujar Diaz.
RDF biasanya diperoleh dari limbah industri, sampah domestik, atau residu biomassa yang telah dipilah dan direduksi jadi lebih kecil. RDF dapat dimanfaatkan sebagai pengganti bahan bakar fosil pada proses co-incineration di PLTU batu bara, pabrik semen, atau pabrik pembakaran kapur.
Greenpeace Sebut Waste to Energy Solusi Palsu
Menanggapi rencana proyek waste to energy pemerintah, Juru Kampanye Greenpeace Indonesia, Ibar Akbar, menyatakan langkah tersebut sebagai solusi palsu. Beberapa alasannya adalah biaya operasional dan infrastruktur yang mahal, namun hasilnya belum mencapai titik optimal.
“Pas uji coba, masih gagal. Bikin bau, mengorbankan warga di sekitarnya,” ujar Ibar.
Faktor lainnya, operasional proyek ini membutuhkan sampah sebagai pasokan, sehingga secara tidak langsung terus membutuhkan sampah di masa depan.
Ibar mengatakan budaya untuk memilah sampah belum banyak diterapkan masyarakat, sehingga butuh waktu dan tenaga untuk memilah sampah sebelum masuk ke pengolahan waste to energy. Meskipun demikian, Ibar menilai pengolahan waste to energy termasuk dalam hirarki sampah, di mana penerapannya ada di titik akhir.
“Kalau bicara waste hierarchy, waste to energy memang masuk di dalamnya. Tapi paling akhir, untuk residunya,” tambah Ibar.