CEO Fairatmos: Perdagangan Karbon Perlu Melibatkan Masyarakat

Ajeng Dwita Ayuningtyas
25 Juli 2025, 11:21
karbon, perdagangan karbon
ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/tom.
Data dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mencatat, Indonesia menjadi negara kedelapan yang memiliki hutan terluas di dunia dengan luas mencapai 92 juta ha yang diharapkan mampu menyerap emisi karbon dari persoalan iklim secara global.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Founder & CEO Fairatmos, Natalia Rialucky Marsudi, menyatakan kawasan Asia Tenggara memiliki potensi besar untuk menangkap emisi karbon dengan tutupan hutan yang dimilikinya. Akan tetapi, potensi ini belum maksimal dimanfaatkan.

Menurut Natalia, dari 200 juta hektare lahan Asia Tenggara yang berpotensi besar menyerap karbon, baru 1% lahan yang diolah. 

Dalam laporan Southeast Asia's Green Economy 2025, pasar karbon enam negara Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, dan Singapura baru mencapai 3% dari potensi mitigasi di seluruh ekosistem.

Potensi terbesar Asia Tenggara berasal dari kawasan hutan sebanyak 40%, kemudian lahan basah 38%, lahan pertanian 20%, dan padang rumput 2%. Total potensi kredit karbon nature-based solutions mencapai 720 juta ton CO2 ekuivalen.

Dari jumlah total tersebut, penerbitan kredit karbon pada 2024 baru mencapai 20 juta ton CO2 ekuivalen. Natalia menyebut, salah satu penghambatnya di Indonesia adalah perdagangan karbon ini belum melibatkan ragam lapisan masyarakat.

“Pasar kredit karbon ini seharusnya bukan hanya milik swasta, bukan hanya milik pemerintah dengan skema-skema tertentu, tetapi juga milik semuanya. CSO (civil society organization), hutan desa, hutan sosial, bahkan personal, bisa ikut serta dalam kegiatan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK),” kata Natalia dalam Sosialisasi Indonesia Carbon Market 2024-2025 di Jakarta, Kamis (24/7).

Di lapangan, Natalia kerap menjumpai masyarakat Indonesia yang tertarik ikut serta mengelola pasar karbon. Namun, pemahaman masyarakat mengenai aktivitas ini menjadi tugas yang harus diselesaikan terlebih dahulu.

“Walaupun di luar sana banyak yang antusias,  pemahaman mengenai good quality carbon credit itu menjadi hal yang sangat baru,” tutur Natalia.

Menghasilkan Kredit Karbon Berkualitas

Kredit karbon dengan kualitas tinggi setidaknya memiliki dua syarat paling penting, yaitu additionality dan permanence.  Additionality adalah pengurangan emisi tambahan yang benar-benar tercapai melalui proyek kredit karbon tersebut. Harus ada pembuktian bahwa jika tidak ada proyek tersebut, maka pengurangan emisi tidak terjadi.

Sementara itu, permanence merujuk pada dampak dari kredit karbon yang bertahan dalam jangka panjang atau memiliki sifat berkelanjutan.

Natalia menambahkan, pasar karbon harus bisa menyalurkan nilai ekonomi pada seluruh lapisan masyarakat. Kolaborasi, keterbukaan pikiran, dan penerimaan dari seluruh pihak dibutuhkan untuk menghasilkan dampak positif secara maksimal.

Menanggapi hal ini, Pakar dan Praktisi Pasar Karbon Paul Butarbutar mengatakan jarak antara perusahaan dan masyarakat yang aktif melakukan upaya konservasi harus ditekan. Hal ini perlu dilakukan karena dalam kegiatan pasar karbon, kolaborasi antara pihak-pihak tersebut saling berpengaruh.

Sementara itu di tingkat ASEAN, percepatan perkembangan pasar karbon dilakukan dengan membentuk ASEAN Common Carbon Framework (ACCF). Kerangka ini bertujuan untuk memastikan integritas dan kredibilitas pasar karbon di kawasan Asia Tenggara, sekaligus mendukung standard karbon internasional.

Potensi Permintaan Tinggi Kredit Karbon dalam Negeri

Di lingkup nasional, kebijakan wajib karbon berpotensi besar meningkatkan permintaan dan mengakselerasikan harga karbon. Perusahaan di sektor pembangkitan dengan kapasitas di atas 25 MW wajib mengikuti perdagangan emisi dan diizinkan untuk offset karbon. 

Meskipun demikian, jumlah permintaan kredit karbon tergantung pada emisi yang dihasilkan. Permintaannya akan tinggi jika perusahaan-perusahaan melampaui batas emisi yang ditentukan, pun sebaliknya. 

Potensi permintaan kredit karbon lainnya adalah banyaknya perusahaan multinasional di Indonesia yang memiliki target net zero emission. Paul menambahkan, tingginya potensi ini harus diimbangi dengan kualitas kredit karbon yang mumpuni.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Ajeng Dwita Ayuningtyas

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...