Aliansi Zero Waste Indonesia Desak Pemerintah Kurangi Produksi Plastik


Para pakar dan aktivis yang tergabung dalam Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) mendesak pemerintah untuk mengurangi produksi plastik. Pandangan pemerintah yang menganggap konsumsi plastik per kapita nasional masih cukup rendah dibandingkan dengan angka konsumsi global membuat komitmen untuk mengurangi penggunaan plastik belum optimal.
Dalam The Intergovernmental Negotiating Committee (INC) 5 pada 2024 lalu, delegasi Indonesia menyatakan bahwa konsumsi plastik per kapita nasional masih cukup rendah. Menjelang penyelenggaraan INC 5.2 pada Agustus mendatang di Jenewa, Swiss, sejumlah ahli menyatakan kritik dan berharap Indonesia membawa komitmen lebih baik di forum tersebut.
“Jadi, argumen yang selalu dipakai adalah produksi dan konsumsi plastik di Indonesia itu masih rendah, jadi masih ada peluang. Tapi, Indonesia sudah menjadi pengonsumsi mikroplastik tertinggi di dunia,” tutur Penasihat Senior Nexus3 Foundation, Yuyun Ismawati, pada Selasa (22/7).
Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), dalam sepuluh tahun terakhir, karet dan plastik termasuk lima besar output sektor manufaktur. Porsi karet dan plastik mencapai 5,37%.
Laporan Danareksa Research Institute juga memperlihatkan, tren impor yang tinggi menunjukkan tingginya tingkat konsumsi plastik. Sejak 2020, peningkatan selalu terjadi. Nilai impor plastik pada 2020 mencapai US$ 7,15 miliar atau Rp 116,6 triliun (kurs Rp16.310/US$) dan meningkat menjadi US$ 11,12 miliar (Rp 181,4 triliun) pada 2022.
Penelitian dari Cornell University pada 2024 lalu menunjukkan, masyarakat Indonesia menjadi konsumen mikroplastik terbanyak, yaitu 15 gram mikroplastik setiap bulan atau setara dengan 3 kartu kredit.
Yuyun juga menekankan amanat United Nations Environment Assembly (UNEA) 5.2 pada 2022 lalu, yaitu mengurangi polusi plastik dari keseluruhan siklus dari plastik. Hal tersebut dilakukan dari proses ekstraksi bahan baku mentah pembuat plastik, hingga plastik menjadi sampah nantinya.
Solusi Guna Ulang Produk Plastik
Mengenai artikel 5 chair text INC 5 tentang desain produk plastik, International Pollutants Elimination Network (IPEN) memberi catatan agar pasal tersebut diperkuat. Tujuannya, untuk memastikan semua bahan kimia berbahaya diidentifikasi dan diganti secara bertahap dengan alternatif yang lebih aman melalui peningkatan desain produk.
Wakil Direktur Dietplastik Indonesia, Rahyang Nusantara, menyebutkan desain untuk sistem guna ulang berkontribusi mencegah polusi plastik sejak dari hulu sekaligus mengurangi permintaan plastik baru (virgin plastic). Sebanyak 80% dampak lingkungan dari suatu produk, ditentukan pada tahap desain.
Negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia, dapat menjadi pelopor desain produk plastik dengan pendekatan ini.
Menurut Rahyang, pemerintah cukup suportif dengan solusi guna ulang atau reuse ini. Hal tersebut terlihat dari studi yang dikeluarkan pemerintah mengenai solusi guna ulang, serta keberadaan prinsip ini dalam regulasi-regulasi nasional.
Meskipun demikian, komitmen tersebut harus diperkuat untuk menjaga produsen-produsen yang sudah beralih ke sistem guna ulang.
“Sayangnya memang ada beberapa produsen yang sekarang malah beralih lagi menyediakan produk dengan plastik sekali pakai. Itu (sistem guna ulang) yang sebetulnya perlu dijaga, sebetulnya harus diatur dengan regulasi yang lebih baik,” tutur Rahyang kepada wartawan, Selasa (22/7).
Ada Biaya yang Tidak Dihitung dalam Produk Plastik Sekali Pakai
Studi yang dilakukan Dietplastik Indonesia dan Makara Universitas Indonesia pada 2024 lalu menunjukkan, harga yang lebih terjangkau menempati posisi tertinggi alasan masyarakat menggunakan produk dikemas sachet atau pouch.
Penanganan sampah kemasan sachet dan pouch memiliki tantangan sulit karena sistem manajemen sampah konvensional belum terbiasa memisahkan dan mendaur ulang sampah multilayer.
Selain itu, nilainya yang rendah seringkali dihindari oleh pendaur ulang. Akibatnya, sampah keduanya menumpuk. Teknologi untuk mendaur ulang sampah dengan nilai rendah ini juga belum mencapai titik efektif secara ekonomi.
Pengelolaan sampah yang tidak optimal ini menimbulkan eksternalitas negatif yang selama ini tidak dimonetisasi. Dampak negatif sosial tersebut dinilai perlu diperhitungkan agar perbandingan manfaat dan biaya sosial aktivitas ekonomi dapat tercermin dengan baik.
Estimasi biaya eksternalitas sampah plastik sachet dan pouch pada 2022 mencapai Rp 1,12 juta -Rp 1,67 juta per ton sampah. Biaya tersebut diperoleh dari biaya kesehatan, biaya iklim, dan biaya ketidaknyamanan.
“Itu yang tidak pernah dihitung, makanya harga produk dalam sachet itu murah dibandingkan kemasan yang lebih besar,” ungkap Rahyang.