Komitmen Penanganan Polusi Plastik Indonesia Dinilai Belum Konsisten

Ajeng Dwita Ayuningtyas
23 Juli 2025, 08:22
sampah plastik, plastik, polusi plastik
ANTARA FOTO/Andri Saputra/YU
Sejumlah warga bersama komunitas Anak Muda Sadar Sampah (Ankam) mengumpulkan sampah di Pantai Kastela Ternate, Maluku Utara, Minggu (27/4/2025).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Juru Kampanye Zero Waste Greenpeace Indonesia, Ibar Akbar, menilai komitmen pemerintah Indonesia dalam mengatasi polusi plastik belum konsisten. Di level nasional, pemerintah menunjukkan komitmen tinggi dengan menghentikan impor sampah plastik, prinsip extended producer responsibility (EPR), atau pengelolaan bank sampah dan reuse-reduce-recycle (3R) melibatkan masyarakat. Namun, komitmen dan semangat ini dinilai belum tersalurkan di level internasional. 

Pelaksanaan International Negotiating Committee (INC)-5 2024 yang diadakan di Korea Selatan, menghasilkan deklarasi untuk memperkuat komitmen negara-negara, yaitu “Standing Up for The Ambition”. Kemudian, pada United Nations Ocean Conference 2025 di Nice, Prancis, muncul pula deklarasi “Nice Wake-up Call”.

Dua deklarasi tersebut bermaksud menguatkan ambisi negara-negara dalam upaya menanggulangi polusi plastik. Akan tetapi, Indonesia tidak ikut andil dalam keduanya.

“Ketika Indonesia tidak bergabung ke dua komitmen bersama, menunjukkan bahwa Indonesia tidak memiliki posisi,” tutur Ibar kepada wartawan, Selasa (22/7).

Ambisi ini juga tidak muncul dalam artikel 6 submisi Indonesia di INC-5 mengenai pasokan. 

Dalam submisinya, Indonesia menyampaikan pengelolaan sampah nasional yang belum optimal. Beberapa faktor penyebabnya adalah kurangnya infrastruktur, pendanaan, dan teknologi. Akan tetapi, Indonesia juga mengakui kebutuhan plastik di sektor industri, pertanian, hingga kesehatan dan medis masih tinggi. Oleh karena itu, pengurangan produksi plastik bukanlah solusi.

Pengurangan produksi plastik tanpa solusi pengganti dinilai tidak menyelesaikan persoalan lingkungan. Risiko peningkatan harga produk saat mengurangi plastik dikhawatirkan menimbulkan dampak negatif pada perekonomian. 

Prinsip tersebut belum selaras dengan mandat resolusi United Nations Environment Assembly (UNEA) 5/14 secara jelas menyebutkan bahwa instrumen harus ditujukan pada keseluruhan life cycle plastik. “Secara mandat itu sudah jelas, dari produksi sampai akhir itu harus dibicarakan,” tambah Ibar.

Indonesia Perlu Perkuat EPR sebagai Kewajiban Produsen

Saat ini Indonesia sudah menerapkan prinsip extended producer responsibility (EPR), yaitu prinsip yang membuat produsen bertanggung jawab terhadap dampak lingkungan dari produk mereka. Tanggung jawab ini mulai dari desain hingga pembuangan produk oleh konsumen.

Dalam hal ini, Ibar menyampaikan, Indonesia perlu lebih tegas menerapkan prinsip tersebut dengan menjadikannya sebagai kewajiban (mandatory) bagi produsen. Ibar menambahkan, Indonesia dapat membicarakan prinsip ini dalam INC 5.2 yang akan diadakan pada 5-14 mendatang di Jenewa, Swiss.

“Kalau Indonesia mau jadi champion, membicarakan EPR misalnya, ya harus tegas, harus mandatory,” tutur Ibar.

EPR yang diwajibkan akan membantu memastikan tanggung jawab produsen terpenuhi sepanjang perjalanan produknya. Dengan demikian, solusi seperti pengurangan produksi, penggunaan sistem produk guna ulang, atau program dari produsen lainnya dapat dipenuhi. Solusi sampah plastik tidak berkutat di satu titik saja.

Di Indonesia, EPR diatur dalam Pasal 15 Undang Undang Nomor 18 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah. Aturan tersebut secara jelas mengamanatkan produsen untuk mengelola kemasan atau barang yang diproduksinya dengan tujuan menyeimbangkan antara pertumbuhan sektor ekonomi sekaligus menjaga kelestarian lingkungan. 

Kemudian, ada Peraturan Menteri LHK Nomor P.75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen sebagai produk turunannya. Permen ini menerapkan pendekatan full life-cycle of plastic mulai dari desain produk, produksi, distribusi, dan pengelolaan sampah pasca konsumsi. 

Pembatasan bertahap untuk penggunaan beberapa plastik sekali pakai, seperti kantong belanja plastik, sedotan plastik, wadah styrofoam, dan alat makan minum pada usaha retail dan jasa makanan minuman juga diatur. 

Dalam catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup), tercatat sampai Agustus 2024, terdapat 2 provinsi, 45 kota, dan 67 kabupaten yang telah mengeluarkan kebijakan daerah terkait pelarangan atau pembatasan plastik sekali pakai.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Ajeng Dwita Ayuningtyas

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...