Para Pakar Sebut Indonesia Butuh Kebijakan Responsif Iklim


Perubahan iklim tidak hanya menghadirkan risiko kenaikan permukaan laut atau cuaca ekstrem, namun juga gangguan ekonomi. Sejumlah pakar menilai Indonesia membutuhkan kebijakan yang responsif terhadap perubahan iklim untuk menghadapi tantangan ini.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam International Indonesia (UIII), Teguh Yudo Wicaksono, mengatakan untuk mencapai netralitas karbon, dibutuhkan restrukturisasi ekonomi besar-besaran dengan implikasi kebijakan signifikan.
Menurut Teguh, transisi ini akan mengganggu stabilitas ekonomi jika tidak dikendalikan dengan baik. Ia menyebut ada kebutuhan terhadap perangkat kebijakan yang responsif iklim.
“Kebijakan makroekonomi saat ini belum sepenuhnya diadopsi sebagai perangkat responsif iklim,” tutur Teguh, dalam acara Launch of Initiative KOMITMEN, di UIII, Rabu (16/7).
Teguh mengatakan, otoritas moneter di Indonesia, seperti Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memiliki inisiatif masing-masing. Akan tetapi, inisiatif-inisiatif tersebut belum berkaitan satu sama lain. Teguh melihatnya sebagai celah yang harus diperbaiki.
Selain itu, ia melihat adanya fenomena miopia kebijakan, di mana para pemimpin atau pemangku kebijakan cenderung berpikir hanya untuk jangka pendek.
Hal tersebut dapat dipicu oleh kesenjangan metodologis, yang membuat risiko-risiko perubahan iklim belum ditanggapi dengan optimal.
Michiel Schaeffer, Co-Founder Climate Analysis, mengatakan perubahan iklim adalah sesuatu yang dinamis dan tidak bisa diprediksi secara pasti. Oleh karena itu, butuh banyak pendekatan untuk menyesuaikan dengan perubahan yang ada.
Selain mitigasi untuk mencegah risiko, Michiel menyebut perlu adanya upaya adaptasi. Hal ini dapat dilakukan dengan ragam bentuk, seperti adaptasi fisik dengan membangun infrastruktur tangguh atau adaptasi ekonomi dengan investasi untuk meningkatkan proteksi.
Tak hanya mengandalkan peran dari sektor publik, sektor swasta juga harus dilibatkan dalam kebijakan ini.
Butuh Kebijakan yang Menyentuh Masyarakat
Direktur Eksekutif ViriyaENB, Suzanty Sitorus, menyebut kebijakan iklim tidak hanya berbicara pengurangan emisi, tetapi juga hal-hal yang berkaitan langsung dengan masyarakat terutama dalam menghadapi transisi.
“Kebijakan ini juga harus mencakup lapangan kerja, pertumbuhan, dan hal-hal lain yang membuat negara dan masyarakat memiliki kemampuan lebih untuk menghadapi perubahan iklim, sekaligus dampak dari transisi,” jelas Suzanty.
Menurut Suzanty, transisi menuju emisi nol bersih harus sejalan dengan pembangunan ekonomi berkelanjutan dan inklusif. Hal tersebut didorong oleh mikroekonomi dan makroekonomi yang kuat.