Soal Industri Sawit, Malaysia minta Uni Eropa Revisi Status Risiko Standar EUDR

Image title
2 Juni 2025, 17:05
sawit, malaysia, industri sawit
ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/YU
Pekerja mengangkut Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit saat panen di kawasan Desa Suak Raya, Johan Pahlawan, Aceh Barat, Aceh, Kamis (1/5/2025). Harga TBS Kelapa sawit tingkat petani di Aceh Barat mengalami penurunan dari Rp2.380 per kilogram menjadi Rp2.200 per kilogram yang dipengaruhi berkurangnya permintaan komoditas minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) dari negara importir utama seperti India dan Tiongkok.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Malaysia meminta Uni Eropa untuk meninjau kembali keputusannya yang mengklasifikan negara tersebut dalam kategori berisiko standar dalam undang-undang antideforestasi atau EU Deforestation Regulation (EUDR). Klasifikasi tersebut dinilai tidak mengacu pada data terbaru.

Menteri Perkebunan dan Komoditas Malaysia Johari Abdul Ghani menyebut bahwa klasifikasi tersebut mengacu pada data 2020 dari Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (Food and Agriculture Organization/FAO). Padahal, Malaysia selaku eksportir minyak sawit terbesar kedua di dunia telah menerapkan berbagai langkah yang memadai untuk dikategorikan sebagai negara berisiko rendah.

Komisi Eropa dalam notifikasi pada 21 Mei 2025 hanya memasukkan empat negara dalam daftar risiko tinggi deforestasi EUDR. Keempat negara itu adalah Belarus, Myanmar, Korea Utara, dan Rusia. Sementara itu, 27 negara Uni Eropa, China hingga Amerika Serikat masuk dalam deretan negara dengan risiko deforestasi rendah.

Berdasarkan regulasi UE, negara berisiko standar akan menghadapi pemeriksaan kepatuhan yang lebih ringan atas barang-barang yang diekspor ke Eropa, sementara negara berisiko rendah akan dikenai aturan uji tuntas (due diligence) yang lebih longgar.

Selain Malaysia, negara-negara yang dikategorikan sebagai berisiko standar adalah Indonesia dan Brasil. EUDR yang diperkirakan mulai berlaku pada Desember 2025 mencakup komoditas seperti kedelai, daging sapi, minyak sawit, kayu, kakao, dan kopi, serta produk turunannya seperti kulit, cokelat, dan furnitur.

Di tengah keputusan UE tersebut, Johari menegaskan kembali komitmen Malaysia untuk menyampaikan bukti ilmiah terbaru guna mendukung permintaan perubahan status menjadi berisiko rendah.

"Malaysia telah menerapkan kebijakan ketat tanpa deforestasi dan mengembangkan sistem sertifikasi kami sendiri yang memastikan keterlacakan, kepatuhan, dan inklusivitas, terutama bagi petani kecil. Kami berkomitmen penuh untuk bekerja sama dengan Komisi UE guna memastikan pengakuan yang adil terhadap kemajuan kami," ujar Johari dikutip dari Reuters, Senin (2/6).

Komisi Eropa menyatakan bahwa metodologi mereka mengacu pada komitmen terhadap keadilan, objektivitas, dan transparansi. Mereka mengklaim memiliki proses benchmarking yang dinamis dan akan ditinjau kembali pada 2026 setelah publikasi data baru akhir tahun ini.

Dewan Minyak Sawit Malaysia menyebut bahwa klasifikasi UE didasarkan pada metode yang terlalu sempit dan tidak lengkap, serta hanya mengacu pada angka rata-rata hilangnya hutan tahunan antara 2015 dan 2020.

Dewan Minyak Sawit Malaysia juga menyuarakan kekhawatiran terhadap metodologi UE yang dinilai hanya melihat kehilangan hutan secara umum dan mendiskriminasi sektor minyak sawit.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...