Penjelasan Asosiasi Operator Seluler soal Isu Internet Premium WhatsApp Call


Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia atau ATSI berbicara mengenai isu wacana dibuatnya layanan internet khusus untuk Voice over Internet Protocol alias VoIP seperti WhatsApp Call dan Video Call, Skype, Zoom hingga Google Meet.
Sebelumnya Direktur Strategi dan Kebijakan Infrastruktur Digital Kementerian Komdigi Denny Setiawan menyampaikan salah satu referensi untuk mengatasi ketidakseimbangan beban yang ditanggung operator seluler dengan penggunaan bandwidth oleh layanan over the top alias OTT, yakni praktik di negara lain seperti Uni Emirat Arab atau Arab Saudi.
Denny tidak memerinci praktiknya, namun dikutip dari Frejun, pengguna di kedua negara itu membutuhkan layanan VoIP premium untuk bisa menggunakan WhatsApp Call dan video call. Layanan VoIP premium itu biasanya dilengkapi dengan fasilitas lain, seperti transkripsi dan perekaman panggilan, integrasi Manajemen Hubungan Pelanggan (CRM) dan Sistem Pelacakan Pelamar (ATS) untuk konsumen bisnis, dan lainnya.
Menteri Komdigi Meutya Hafid menegaskan kajian itu belum dibahas di internal. Ia menegaskan kementerian menerima usulan dari beberapa kalangan, di antaranya dari ATSI dan Masyarakat Telematika Indonesia alias Mastel, yang menyampaikan pandangan terkait penataan ekosistem digital, termasuk relasi antara penyedia layanan OTT dan operator jaringan.
Namun demikian, Meutya Hafid menekankan bahwa usulan itu belum pernah dibahas dalam forum pengambilan kebijakan dan tidak menjadi bagian dari agenda resmi kementerian.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Umum ATSI Merza Fachys menegaskan isu pembatasan WhatsApp Call itu merupakan kesalahpahaman. Asosiasi tidak mengusulkan pembatasan layanan, melainkan mendorong penataan ekosistem digital dan telekomunikasi yang lebih adil dan seimbang sesuai regulasi.
Layanan OTT dinilai sangat membebani jaringan operator nasional, karena konsumsi data yang tinggi tanpa kontribusi sebanding terhadap investasi infrastruktur.
“Layanan OTT voice dan video call sudah menggerus layanan legacy milik operator, tapi penyedia OTT belum memberikan kontribusi positif baik ke negara maupun operator,” kata Merza dalam keterangan tertulis, Senin (28/7).
Sebab, operator telekomunikasi nasional maupun industri penyiaran menghadapi tekanan besar akibat meningkatnya trafik dari layanan OTT. Khusus operator telekomunikasi, panggilan suara dan video berbasis internet membebani jaringan yang dibangun.
Kondisi itu semakin diperparah dengan layanan OTT yang menggerus layanan operator telekomunikasi. Contohnya, layanan OTT voice dan video call yang menggerus layanan telepon konvensional milik operator telekomunikasi.
Tingginya trafik dari OTT memaksa operator meningkatkan kapasitas jaringan, namun kehadirannya belum diatur dalam regulasi yang jelas. Padahal, kehadiran layanan OTT dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh operator telekomunikasi tidak sebanding dengan investasinya.
Selama ini, penyedia layanan OTT tidak memberikan kontribusi positif baik bagi negara maupun operator telekomunikasi yang sudah membangun jaringan infrastruktur yang menopang bisnis mereka.
Dasar Hukum soal WhatsApp Call
Ia mendorong Kementerian Komdigi dan seluruh pemangku kepentingan untuk segera merumuskan regulasi, termasuk kewajiban kerja sama antara OTT dan operator.
“Jika tidak segera diregulasi, keberlangsungan bisnis operator akan terancam dan berdampak pada kualitas layanan serta pendapatan negara,” ujarnya.
Merza mengungkapkan pemerintah sebenarnya sudah memiliki dasar hukum untuk mengatur OTT melalui PP 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran atau Postelsiar, serta Peraturan Menkominfo Nomor 5 Tahun 2021.
Pasal 15 ayat (6) PP 46/2021 memberikan kewenangan pengelolaan trafik untuk menjaga kualitas layanan dan kepentingan nasional. Namun hingga kini, penegakan regulasi tersebut belum berjalan optimal.
“Semua ini tergantung dari niat dan dukungan pemerintah untuk menegakkan aturan yang sudah ada,” ujar dia.
ATSI juga menekankan perlunya pembahasan bentuk kerja sama yang adil atau fair share antara operator dan penyedia OTT, seiring tingginya nilai ekonomi yang diperoleh OTT dari pemanfaatan jaringan digital nasional.
Selain aspek bisnis, ATSI menyoroti pentingnya perlindungan konsumen dalam penataan OTT. Merza mencontohkan maraknya penipuan digital melalui WhatsApp, mulai dari modus pengambilalihan akun, undangan palsu, hingga penipuan berkedok lowongan kerja.
Menurut dia, kondisi ini memperlihatkan belum adanya mekanisme akuntabilitas OTT yang memadai.
“Korban penipuan tidak punya jalur pelaporan yang jelas karena penyedia OTT tidak memiliki kehadiran hukum langsung di Indonesia. Ini bukan cuma soal ekonomi, tapi soal perlindungan masyarakat dan keamanan digital nasional,” katanya.
ATSI mendorong Komdigi membuka forum pembahasan dengan pelaku industri untuk menyusun strategi penataan OTT secara komprehensif.