RI Negosiasi Transfer Data dengan Trump, Komdigi Resmikan Lembaga Khusus Agustus


Pemerintah masih bernegosiasi soal tarif impor dengan pemerintahan Amerika Serikat yang dipimpin oleh Donald Trump, termasuk dalam hal transfer data WNI. Di tengah proses ini, Komdigi atau Kementerian Komunikasi dan Digital menargetkan bisa meluncurkan lembaga pelindungan data pribadi pada Agustus.
Menteri Komdigi Nezar Patria menegaskan keputusan transfer data WNI masih dalam tahap koordinasi teknis antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat, terutama terkait kesepakatan soal tarif impor resiprokal yang mengaitkan isu transfer data lintas-negara.
Kesepakatan awal antara kedua negara ini tertuang dalam dokumen resmi Gedung Putih AS bertajuk ‘Amerika Serikat dan Indonesia Mencapai Kesepakatan Perdagangan Bersejarah’ yang dirilis 23 Juli.
Dalam lembar fakta itu, Indonesia menyatakan komitmen untuk mengatasi hambatan terhadap perdagangan dan investasi digital, termasuk memberikan kepastian soal kemampuan mentransfer data pribadi ke AS.
Presiden AS Donald Trump sebelumnya telah mengumumkan kebijakan tarif pada 2 April lalu dan memberikan jeda selama 90 hari. Dalam pernyataannya pada 8 Juli, Trump menegaskan bahwa tarif akan mulai berlaku efektif 1 Agustus dan tidak akan diperpanjang.
Kesepakatan transfer data ini menjadi bagian dari negosiasi untuk meringankan tarif impor yang dikenakan pada produk Indonesia.
Namun, Nezar menekankan bahwa proses transfer data ini tidak serta merta berlaku penuh pada 1 Agustus. Ia mengatakan bahwa hal ini tergantung pada finalisasi antara pemerintah AS dan Indonesia.
“Koordinasi masih berjalan dan belum final. Masih ada hal-hal teknis yang dibahas antara pemerintah Amerika dan Indonesia,” ujar Nezar ditemui di kantornya, Senin (28/7).
Nezar mengingatkan bahwa Indonesia menganut prinsip data flows with condition,, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi atau UU PDP, khususnya Pasal 56.
Dalam aturan tersebut, transfer data pribadi ke luar negeri harus memenuhi prinsip adekuasi atau mendapatkan persetujuan dari pemilik data jika negara tujuan belum memiliki standar perlindungan yang setara.
“Jangan sampai disalahpahami. Ini bukan berarti semua data pribadi bisa ditransfer bebas ke Amerika. Harus tetap melalui protokol yang sesuai dengan UU PDP,” kata dia.
Komdigi Target Resmikan Lembaga Pelindungan Data Pribadi pada Agustus
Nezar Patria menargetkan pembentukan Lembaga Pengawas Pelindungan Data Pribadi selesai pada Agustus. Prosesnya sudah memasuki tahap harmonisasi.
“Ada lebih dari 200 pasal di UU PDP. Jadi harus dilihat satu persatu pasal-pasal itu dan kami harapkan bisa segera selesai paling tidak Agustus,” kata Nezar.
Pembentukan Lembaga PDP kembali mencuat setelah munculnya kesepakatan transfer data WNI ke Amerika Serikat. Kesepakatan transfer data ini menjadi bagian dari negosiasi untuk meringankan tarif impor yang dikenakan pada produk Indonesia oleh Pemerintahan Donald Trump.
Lembaga Pengawas PDP dianggap krusial untuk menjadi lembaga pengawas data agar transfer data WNI ke Amerika tidak menyalahi berbagai aturan dalam UU PDP, serta untuk menjaga kerahasiaan dan keamanan data warga Indonesia.
Sejak pengesahan UU PDP pada Oktober tahun lalu hingga saat ini, Lembaga Pengawas PDP belum terbentuk. Padahal, pembentukan lembaga telah menjadi salah satu amanat dalam UU PDP.
Fungsi dan wewenangnya terutama tertuang dalam Pasal 59 dan Pasal 60 UU PDP. Salah satunya bertugas sebagai pengawas penyelenggaraan dan penegakkan hukum administratif pada pelanggaran UU.
Data yang Ditransfer ke AS adalah Data Komersial
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa pertukaran data lintas-negara dalam kerja sama ekonomi digital antara Indonesia dan AS tetap mengacu pada peraturan nasional, terutama UU PDP.
Data yang diproses bukanlah data pemerintah, melainkan data yang secara sadar diunggah masyarakat saat mengakses layanan digital seperti email, mesin pencarian, sistem pembayaran internasional, dan e-commerce.
"Sebetulnya, data yang dikirim berasal dari masyarakat sendiri saat mereka mengakses layanan. Tidak ada pertukaran data antar-pemerintah. Perusahaan hanya memperoleh data berdasarkan persetujuan (consent) dari masing-masing individu,” ujar dia dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (24/7).
Atas kesepakatan ini, Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional atau DEN Mari Elka Pangestu menegaskan tidak ada permintaan khusus dari Presiden AS Donald Trump terkait transfer data WNI ke Amerika Serikat.
Ia meluruskan bahwa yang diminta pemerintah AS hanyalah kepastian prosedur dan mekanisme transfer data pribadi lintas negara.
“Penting untuk diluruskan bahwa Pemerintah Amerika Serikat tidak meminta pengecualian dari ketentuan hukum Indonesia yang berlaku mengenai perlindungan data pribadi,” kata Mari Elka dalam keterangan pers, Kamis (24/7).
“Yang diminta yakni kepastian terkait mekanisme dan prosedur kebolehan transfer data pribadi ke luar wilayah Indonesia,” Mari Elka menambahkan.
Ia menyampaikan, UU PDP di Indonesia pada dasarnya memperbolehkan transfer data pribadi WNI ke luar negeri, tidak hanya ke Amerika Serikat, selama memenuhi persyaratan tertentu.
Ketentuan itu sejalan dengan praktik dan standar internasional, seperti General Data Protection Regulation alias GDPR di Uni Eropa. “Baik ada maupun tanpa adanya negosiasi dengan pihak mana pun, hukum Indonesia dan praktik global memang membuka ruang bagi transfer data pribadi lintas negara, asalkan mematuhi ketentuan yang telah ditetapkan,” ujar dia.
Menteri Komunikasi dan Digital atau Komdigi Meutya Hafid juga menegaskan kesepakatan dengan AS yakni terkait pijakan hukum yang sah, aman, dan terukur dalam tata kelola lalu lintas data pribadi lintas-negara.
“Kesepakatan yang dimaksud justru dapat menjadi dasar legal bagi perlindungan data pribadi WNI ketika menggunakan layanan digital yang disediakan oleh perusahaan berbasis di Amerika Serikat, seperti mesin pencari, media sosial, layanan cloud, dan e-commerce,” kata dia dalam keterangan pers.
Kesepakatan ini disebutnya justru memperkuat perlindungan data pribadi WNI saat menggunakan layanan digital dari perusahaan berbasis di AS seperti Google, Facebook, WhatsApp, layanan cloud, dan e-commerce.
Meutya memastikan transfer data dilakukan di bawah pengawasan ketat otoritas Indonesia, mengacu pada UU PDP dan PP 71/2019 tentang Sistem dan Transaksi Elektronik. Pemerintah menegaskan bahwa proses ini tidak dilakukan sembarangan, melainkan dalam kerangka secure and reliable data governance.
Ia juga menyebut bahwa praktik transfer data lintas negara merupakan hal yang lazim secara global, seperti yang telah diterapkan negara-negara G7. Dengan tata kelola transparan dan akuntabel, Indonesia tetap bisa bersaing di ekonomi digital global tanpa mengorbankan hak-hak data warganya.