DPR Soroti Minimnya Pengawasan Iklan di TikTok hingga Instagram, Siapkan Aturan

Kamila Meilina
15 Juli 2025, 20:33
DPR
Pexels
Ilustrasi media sosial
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Anggota Komisi I DPR RI, Nico Siahaan, menyoroti lemahnya pengawasan terhadap iklan di platform digital seperti TikTok dan Instagram. Ia menyebut, tanpa mekanisme penyaringan (screening) yang ketat, platform digital bisa menjadi ladang subur bagi penipuan berkedok iklan.

"Pasang iklan di Instagram sekarang enggak ada skrining, tukang tipu pun bisa ngiklan. Jadi siapa yang mau bertanggung jawab? Jangan menikmati kebebasan tanpa menyelesaikan PR-nya," kata Nico dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja DPR RI Komisi I dengan Platform Google & YouTube, TikTok, serta META, di Kompleks Parlemen, Selasa (15/7). 

Nico menyampaikan iklan-iklan yang beredar di media sosial saat ini kerap kali luput dari pengawasan. Hal itu membuat tidak jarang masyarakat menjadi korban penipuan.

Ia juga menekankan pentingnya keadilan regulasi antara media konvensional dan digital. Menurut Nico, sementara televisi dibatasi oleh aturan ketat, termasuk larangan iklan rokok dan kontrasepsi, platform digital justru leluasa menayangkan iklan jenis apa pun tanpa kurasi.

Dia menyebut media sosial memiliki kebebasan lebih besar, bahkan untuk produk-produk yang dilarang tayang di televisi nasional.  

"Di televisi sudah dilarang iklan rokok, tapi di media sosial bisa semaunya. Kalau platform digital enggak mau bertanggung jawab, ya jangan buka ruang jual beli di situ," Nico menambahkan.

Perbedaan regulasi ini disebutnya menimbulkan ketimpangan pengawasan atas platform digital dengan lembaga penyiaran konvensional seperti siaran televisi. Platform digital dinilai tak menjalankan tanggung jawab secara optimal, terutama soal periklanan. 

Senada dengan Nico, anggota Komisi I lainnya, Amelia Anggraini, menyatakan regulasi terhadap platform digital merupakan kebutuhan mendesak. Ia menilai pengaturan platform digital dapat dimasukkan dalam revisi RUU Penyiaran yang saat ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas, sebab masih menyasar substansi yang sama. 

“Kenapa kita menganggap ini bisa dilakukan bersama Undang-Undang Penyiaran? Karena substansinya masih sama, yaitu konten. Mekanismenya nanti bisa kita atur lebih rinci di PP (Peraturan Pemerintah) atau Permen (Peraturan Menteri),” kata Amelia.

RUU tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menjadi salah satu RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas yang diusulkan Komisi I DPR RI.  

Adapun RUU Penyiaran yang tengah dibahas oleh DPR mencakup konten digital seperti di YouTube, TikTok, Instagram, Netflix hingga Disney+ Hotstar. Salah satu yang diatur, pembuat konten, YouTuber hingga TikToker wajib melakukan verifikasi konten ke Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI.

Respons Platform Digital Meta, TikTok dan YouTube 

Platform digital TikTok, YouTube, serta induk Instagram dan Facebook Meta, menekankan bahwa model bisnis dan sistem distribusi konten digital berbeda dengan lembaga penyiaran konvensional. Hal itu membuat diperlukan pendekatan regulasi yang terpisah.

Head of Public Policy TikTok Indonesia Hilmi Adrianto berpendapat bahwa RUU Penyiaran tidak semestinya menyamakan regulasi terhadap platform berbasis konten buatan pengguna (user-generated content/UGC) seperti TikTok dengan lembaga penyiaran tradisional. Hilmi menjelaskan platform berbasis user-generated content (UGC) seperti TikTok memiliki karakteristik yang sangat berbeda dibandingkan dengan lembaga penyiaran tradisional maupun layanan over-the-top(OTT), sehingga tidak seharusnya berada pada kerangka regulasi yang sama.

“Ini kami melihat perbedaan signifikan dengan lembaga penyiaran konvensional sendiri,” kata Hilmi dalam gelaran rapat tersebut, Selasa (15/7). 

Hilmi menyampaikan sebagai platform UGC, konten-konten di TikTok dibuat dan diunggah oleh para pengguna individu, bukan diproduksi oleh perusahaan atau platform itu sendiri. Hal ini berbeda dengan lembaga penyiaran tradisional dan OTT yang mengkurasi, memproduksi, dan mengendalikan kontennya secara langsung.

Dari sisi moderasi, Hilmi menyatakan konten di platformnya diawasi secara proaktif oleh sistem berbasis teknologi dan tim manusia, berbeda dengan sistem kurasi awal yang dilakukan oleh lembaga penyiaran..

Sementara itu, Meta menegaskan perbedaan antara platform digital dan penyiaran konvensional, khususnya dalam sistem kurasi konten. "Konten kami bersifat masif, dikirimkan secara sukarela oleh pengguna. Ini berbeda dengan konten media penyiaran yang dikurasi sebelum tayang," ujar Head of Public Policy Meta Indonesia, Berni Moestafa. 

Ia menilai pengaturan mengenai platform digital sebaiknya tetap berada di bawah kerangka UU ITE, bukan dalam UU Penyiaran. Sebab, kurasi konten di bawah platform UGC diunggah oleh pengguna secara masif dan dalam waktu yang tak ditentukan, bisa jadi secara bersamaan, sehingga pengawasan dilakukan berdasarkan penilaian terhadap materi konten. 




Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Kamila Meilina

Inisiatif pembangunan rendah karbon dilakukan pada bidang-bidang prioritas, terutama dalam hal tata guna lahan hutan dan gambut.

Di sejumlah daerah, berbagai inisiatif kolaborasi telah dijalankan dan menunjukkan bahwa kelestarian lingkungan bisa dicapai dengan tetap memperhatikan kesejahteraan warga.

Laporan lengkap dapat diunduh melalui tautan ini

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...