TaniHub Diduga Palsukan Data Keuangan Seperti eFishery, Ini Daftar Startup Fraud


Isu dugaan kecurangan alias fraud kembali mewarnai industri startup Indonesia. Yang terbaru, tindak pidana yang melibatkan MDI Ventures, BRI Ventures, TaniHub. Ini daftar startup diduga melakukan fraud.
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan menetapkan tiga tersangka dugaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang atau TPPU terkait pengelolaan dana investasi oleh MDI Ventures dan BRI Ventures pada TaniHub beserta afiliasi selama 2019 - 2023.
Dikutip dari akun Instagram Kejari Jakarta Selatan, ketiga tersangka yakni Direktur MDI Ventures berinisial DSW, mantan Direktur Utama TaniHub IAS dan eks Direktur TaniHub ETPLT.
Ketiga tersangka telah ditahan sejak 28 Juli. Penahanan akan berlangsung hingga 16 Agustus.
DSW ditahan di Rutan Salemba, IAS di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, dan ETPLT dititipkan di Rutan Cipinang.
Daftar Startup Diduga Lakukan Fraud
Belakangan mulai terbongkar beberapa dugaan fraud yang dilakukan di perusahaan rintisan Indonesia. Yang terbaru, terkait investasi MDI Ventures dan BRI Ventures di startup pertanian TaniHub.
1. TaniHub
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan menyampaikan perkara yang diusut kali ini terkait investasi US$ 25 juta atau Rp 400 miliar dari MDI Ventures dan BRI Ventures kepada TaniHub Group dan afiliasi.
Kejari Jakarta Selatan menduga ada tindak pidana korupsi dan TPPU pada investasi tersebut.
Berdasarkan hasil penyidikan sementara, DSW diduga menyetujui pencairan dana investasi secara melawan hukum. IAS dan ETPLT diduga memanipulasi data TaniHub guna memperoleh investasi dari MDI Ventures dan BRI Ventures, lalu menggunakan dana untuk kepentingan pribadi.
Penyidikan masih terus dikembangkan guna mengungkap keterlibatan pihak lain dan menelusuri aliran dana hasil dugaan korupsi dan TPPU itu.
Berdasarkan catatan Katadata.co.id, MDI Ventures memimpin pendanaan seri B US$ 65,5 juta atau Rp 942 miliar ke TaniHub pada Mei 2021. Investor lain yang berpartisipasi saat itu yakni Telkomsel Mitra Inovasi atau TMI, Add Ventures, BRI Ventures, Flourish Ventures, Intudo Ventures, Openspace Ventures, Tenaya Capital, UOB Venture Management, dan Vertex Ventures.
Saat itu, TaniHub Group menyebutkan pendapatan kotor tumbuh 639% pada 2020. Dengan adanya tambahan modal, perusahaan optimistis bisa tumbuh tiga kali lipat pada 2021.
Ivan Arie Sustiawan mundur dari jabatan CEO pada Mei 2021 atau bertepatan dengan pendanaan seri B tersebut.
TaniHub Group memiliki layanan e-commerce bernama TaniHub, TaniSupply, dan teknologi finansial pinjaman atau fintech lending TaniFund.
Namun setelah pendanaan seri B itu, TaniHub justru melakukan Pemutusan Hubungan Kerja alias PHK pada awal 2022, serta menutup gudang di Bandung dan Bali. Alasannya, ingin mempertajam fokus bisnis. Caranya, dengan meningkatkan pertumbuhan melalui kegiatan Business to Business (B2B) seperti hotel, restoran, kafe, modern trade, general trade, UMKM, serta mitra strategis.
Nama TaniHub tak lagi terdengar dalam hal ekspansi, pencapaian pertumbuhan bisnis maupun pendanaan setelah itu. Kabar yang muncul justru negatif.
Unit bisnis di bidang pinjaman online TaniFund mencatatkan kredit macet atau Tingkat Wanprestasi di atas 90 hari (TWP 90) mencapai 63,93% pada Maret 2023. Platform juga gagal membayar uang pemberi pinjaman alias lender.
Pada awal 2024, para investor mulai digugat ke pengadilan. Ada tiga gugatan ke Pengadilan Jakarta Selatan dengan total nilai gugatan Rp 471,2 juta.
Otoritas Jasa Keuangan atau OJK kemudian menutup izin usaha pinjol TaniFund pada 3 Mei 2024. TaniFund wajib menggelar Rapat Umum Pemegang Saham alias RUPS untuk memutuskan pembubaran dan membentuk tim likuidasi.
2. eFishery
Gibran Huzaifah, CEO eFishery yang kini jabatannya ditangguhkan, mengakui dirinya memoles angka laporan keuangan. Berikut daftar startup yang melakukan hal serupa.
Pendiri eFishery itu bercerita awal mula dirinya memutuskan untuk memoles angka laporan keuangan yakni setelah berdiskusi dengan pendiri startup lain.
Gibran bertanya kepada sesama pendiri startup Indonesia tentang bagaimana mereka berhasil mengumpulkan investasi baru. Jawabannya samar-samar dan hanya memberikan ‘kode’, yang menurut Gibran, pada dasarnya yakni memanipulasi angka-angka.
"Mereka mengatakan bahwa mereka memanipulasi angka-angka. Mereka memiliki beberapa 'growth hacking initiatives’ yang mereka lakukan dan biasanya mereka melakukannya sebelum penggalangan dana," kata Gibran dikutip dari Bloomberg, pada April (15/4).
Laporan hasil investigasi awal FTI Consulting, yang ditunjuk oleh manajemen eFishery di bawah investor, menyebutkan manajemen sebelumnya diduga menggelembungkan dana perusahaan US$ 600 juta atau Rp 9,8 triliun (kurs Rp 16.331 per US$) selama Januari - September 2024.
Di tengah kasus penggembungan dana yang masih berjalan, eFishery melaporkan dua petinggi ke polisi di tengah dugaan fraud. Keduanya berinisial G dan C. Laporan ini disampaikan ke Polda Metro, Mabes Polri Bareskrim, dan OJK.
Dalam laporan terbaru dari FTI Consulting yang ditunjau oleh Bloomberg, eFishery disebut merugi US$ 50 juta atau Rp 819,3 miliar (kurs Rp 16.390 per US$) sepanjang tahun lalu, menurut laporan DealStreetAsia. Startup ini dinilai tidak layak secara komersial dan sebagian besar bisnisnya harus ditutup.
3. Crowde
PT JTrust Indonesia Tbk atau J Trust Bank melaporkan startup fintech lending Crowde ke Polda Metro Jaya atas dugaan penggelapan dana dalam fasilitas kredit yang diberikan. Laporan polisi telah didaftarkan dengan nomor STTLP/B/982/II/2025/SPKT/POLDA METRO JAYA pada 11 Februari 2025.
Dugaan penggelapan dana yang dimaksud yakni peminjaman fiksi atas nama petani. Sebab, dalam pengawasan dan pemantauan melalui kunjungan serta wawancara acak dengan petani, J Trust Bank menemukan beberapa petani yang diajukan Crowde sebagai penerima pinjaman justru tidak mengetahui atau tak mengakui pernah mengajukan pinjaman melalui platform ini.
Laporan terbaru DealStreetAsia menyebutkan Crowde diduga menyalahgunakan hampir Rp 100 miliar modal pinjaman. Dana ini diduga dialihkan ke proyek-proyek pertanian palsu dan bisnis cangkang.
Menurut sumber DealStreetAsia, dari total pinjaman yang dicairkan Rp 1,3 triliun selama 2021 - 2024, hanya Rp 500 miliar yang terkait dengan kegiatan pertanian yang sah. Sisanya, Rp 800 miliar diyakini telah disalurkan melalui transaksi fiktif, tanpa aset terkait yang tercatat.
Pinjaman tersebut terutama berasal dari Bank Mandiri Rp 300 miliar sampai Rp 400 miliar, Bank BJB sekitar Rp 200 miliar. J Trust Bank, dan beberapa BPR lokal.
Katadata.co.id mengonfirmasi kepada kuasa hukum Crowde yang menangani kasus JTrust, namun belum menanggapi. Sementara itu, JTrust menyatakan tanggapan masih sama seperti Februari.
Sumber Katadata.co.id yang mengetahui hal itu juga mengatakan, investor mulai mencurigai adanya dugaan penyaluran pinjaman fiktif oleh Crowde. CEO baru disebut hanya menjabat selama empat bulan dan karyawan mengalami Pemutusan Hubungan Kerja alias PHK.
4. Startup Payment Gateway
Salah satu startup payment gateway di Indonesia diduga melakukan fraud. Investor disebut-sebut melakukan audit, sehingga menemukan beberapa transaksi yang mencurigakan lewat anak usaha perusahaan rintisan itu.
Katadata.co.id mengonfirmasi informasi tersebut kepada sumber yang mengetahui masalah tersebut, namun ia belum ada mau berkomentar banyak.
Katadata.co.id juga mengonfirmasi rumor itu kepada startup payment gateway yang bersangkutan dan investor. Keduanya juga belum memberikan tanggapan.
Startup Luar Negeri yang Palsukan Laporan Keuangan
1. Theranos
Theranos merupakan salah satu startup kesehatan di Amerika Serikat yang berdiri pada 2003. Model bisnisnya yakni menjalankan uji darah dengan teknologi.
Pendiri Elizabeth Holmes, yang pernah menyandang status wanita terkaya di dunia, mengklaim teknologinya dapat secara instan mendeteksi kondisi medis seperti kanker dan kolesterol tinggi hanya dengan mengecek darah.
Theranos meraih pendanaan lebih dari US$ 400 juta, dengan valuasi hampir US$ 9 miliar pada 2014.
Pada 2015, The Wall Street Journal mengangkat kisah tuduhan terhadap teknologi pengujian darah Theranos. Gugatan terhadap Theranos terus dilayangkan sejak saat itu.
CEO Elizabeth Holmes tidak berterus terang bahwa teknologi yang ia hasilkan lewat Theranos tidak berfungsi. Karyawan sudah mengingatkan bahwa tes belum siap untuk diuji publik, dan ada ketidakakuratan dalam teknologi.
Pada 2018, sejumlah fakta dan saksi bermunculan bahwa Elizabeth Holmes dan mantan kepala operasional Ramesh Balwani menipu pasien, mitra, serta karyawan tentang pengembangan usaha dan kemampuan teknologinya.
Elizabeth Holmes juga memalsukan laporan tentang teknologi dan kas keuangan kepada para investor dan karyawan.
Pada 2022, Elizabeth Holmes menghadapi hukuman penjara hingga 20 tahun serta denda US$ 250 ribu ditambah restitusi untuk setiap tuduhan.
2. Frank
CEO startup bantuan keuangan Frank, Charlie Javice diduga menipu JP Morgan US$ 175 juta atau Rp 2,6 triliun. Ia masuk Forbes 30 Under 30 atau daftar anak muda berusia di bawah 30 tahun yang dinilai berhasil membuat terobosan.
Frank menyediakan perangkat lunak alias software yang memudahkan mahasiswa mengajukan bantuan keuangan.
JP Morgan mengakuisisi Frank US$ 175 juta atau sekitar Rp 2,6 triliun pada September 2021. “Tujuannya, memperdalam hubungan perusahaan dengan mahasiswa,” kata petinggi kepada CNBC Internasional, pada Januari 2023.
Saat itu, bank raksasa tersebut memuji Frank karena pertumbuhan yang sangat cepat. Aplikasi ini digunakan oleh lebih dari lima juta mahasiswa di 6.000 institusi.
JP Morgan bahkan menawarkan pendiri Frank, Javice untuk bergabung di perusahaan.
Namun JP Morgan Chase menutup situs web Frank pada 12 Januari 2023. Raksasa keuangan ini menuduh Javice membuat hampir empat juta akun pelanggan Frank palsu.
Hal itu diketahui setelah JP Morgan mengirimkan email pemasaran ke 400 ribu pelanggan Frank. Sekitar 70% email bounce back atau tidak dapat terkirim.
Bank tersebut pun mengajukan gugatan ke pengadilan federal bulan lalu. JP Morgan menuduh Javice membuat akun pelanggan palsu.
3. Mozido
Pendiri startup fintech Mozido, Michael Liberty, istri dan beberapa rekan, didakwa oleh Komisi Sekuritas dan Bursa atau SEC atas tuduhan penipuan investor dan penyalahgunaan dana.
Liberty diduga memberikan informasi palsu kepada investor mengenai nilai perusahaan sebelum menjadi Mozido. Ia mengklaim valuasi Mozido US$ 1 miliar, padahal dewan direksi menilainya jauh lebih rendah.
Mereka menggelapkan sebagian besar dari lebih dari US$ 48 juta dana yang terkumpul dari investor. Uang ini digunakan untuk mendanai gaya hidup mewah Liberty, termasuk jet pribadi, rumah mewah, mobil mahal, dan produksi film.
Liberty dan rekan-rekannya dituduh menggunakan kesuksesan Mozido untuk menjual saham di perusahaan cangkang kepada investor.
SEC menyatakan para terdakwa menipu investor agar percaya bahwa mereka mendanai startup yang berkembang pesat, padahal kenyataannya tidak demikian.
4. Satyam Computers India
Kasus penipuan di startup Satyam Computer Services terungkap pada 2009, ketika mantan ketua dan direktur pelaksana Ramalinga Raju mengakui telah menggelembungkan pendapatan perusahaan.
Hal itu terungkap saat perusahaan teknologi asal India Tech Mahindra mengakuisisi Satyam untuk menyelamatkannya dari kehancuran finansial, serta melindungi karyawan serta pelanggan.
Akan tetapi, Departemen Pajak Penghasilan India mengenakan pajak 2.000 rupee India crore kepada Tech Mahindra, termasuk pajak atas pendapatan fiktif yang sebelumnya dilaporkan oleh Satyam.
Tech Mahindra mengajukan petisi ke Pengadilan Tinggi Telangana untuk menentang tindakan Departemen Pajak Penghasilan, dengan alasan bahwa mereka tidak seharusnya dihukum atas penipuan yang dilakukan oleh manajemen lama Satyam.
Setelah persidangan selama 14 tahun, Pengadilan Tinggi memutuskan untuk mendukung Tech Mahindra.
Pengadilan memerintahkan Departemen Pajak Penghasilan untuk menilai kembali pendapatan perusahaan berdasarkan laporan keuangan yang direvisi, yang tidak termasuk pendapatan fiktif yang menjadi bagian dari penipuan Satyam. Keputusan ini dianggap sebagai bantuan bagi Tech Mahindra.
Maraknya startup melakukan fraud disebut membuat investor semakin berhati-hati berinvestasi di perusahaan rintisan Indonesia.