OJK Tak Ikut Campur, Fintech Lending Tetap Beri Keringanan Kredit
Berbeda dengan perbankan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak bisa meminta startup teknologi finansial (fintech lending) memberikan keringanan kredit kepada peminjam yang terdampak pandemi corona. Kendati begitu, fintech lending tetap merestrukturisasi pinjaman.
OJK tidak bisa ikut campur, karena fintech lending hanyalah platform yang memfasilitasi pemberi pinjaman (lender) dan peminjam (borrower). Sedangkan bank bertindak langsung sebagai pemberi pinjaman.
Karena itu, keputusan memberikan keringanan kredit tergantung pada pemberi pinjaman. Restrukturisasi pinjaman yang difasilitasi fintech lending saat ini tidak diatur dalam Undang-undang. Proses restrukturisasi pun tidak diawasi OJK.
(Baca: Peminjam di 68 Fintech Lending Minta Keringanan Kredit Imbas Corona)
Maka dari itu, OJK meminta Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menangani proses restrukrisasi di platform fintech lending. “Jadi fintech lending pun tidak berwenang untuk memberikan restrukturisasi pinjaman tanpa persetujuan dari lender,” ujar Ketua Bidang Humas dan Kelembagaan AFPI Tumbur Pardede saat video conference, Senin (20/4).
Mekanisme pemberian keringanan kredit di masing-masing platform pun berbeda. Meski begitu, ada beberapa kriteria mendasar dari asosiasi untuk menjamin restrukrisasi tidak merugikan pihak manapun.
Kriteria pertama, borrower wajib membuktikan sebagai pelaku UMKM yang terdampak pandemi virus corona. Perusahaan akan menganalisis kemampuan bayar peminjam saat jatuh tempo, dan sumber penghasilannya ke depan.
Kedua, status peminjam sebelum 2 Maret 2020 bersifat lancar. Ketiga, pengajuan permintaan restrukturisasi pinjaman sebelum jatuh tempo pembayaran pinjaman.
(Baca: Fintech Investree & Crowdo Ramal 15% Peminjam Minta Keringanan Kredit)
Persyaratan itu ditetapkan agar restrukturisasi diberikan tepat sasaran. "Tidak malah diberikan oleh pihak-pihak yang memanfaatkan situasi pandemi Covid-19,” kata Tumbur.
AFPI pun menyurvei 130 anggotanya. Hasilnya, 52% atau 68 perusahaan mendapatkan pengajuan keringanan kredit dari peminjam.
Ketua Harian AFPI Kuseryansyah mengatakan, pandemi memang berdampak terhadap kemampuan bayar peminjam di fintech lending. "Pandemi dikhawatirkan membuat risiko gagal bayar pinjaman berpotensi meningkat, sehingga kami memperketat mitigasi risiko atas pengajuan pinjaman baru," ujar dia.
Meski begitu, menurutnya resiko kredit macet itu baru bisa terlihat dampaknya pada Juni. Sejauh ini, mayoritas anggota AFPI menyatakan Tingkat Keberhasilan Bayar 90 Hari (TKB90) stabil.
Hingga Februari 2020, OJK mencatat TKB90 yang menjadi tolak ukur industri ini berada di angka 96,08% atau NPL 3,92%. (Baca: Khawatir Kredit Macet Melonjak, Asosiasi Fintech Kaji Diskon Bunga)
Investree misalnya, TKB90 stabil. Namun, Chief of Risk Investree Amelia Safitri memperkirakan, tingkat pembayaran pinjaman ini menurun 2% karena peminjam terdampak pandemi.
Sejauh ini, baru 2-3% peminjam di platform Investree yang mengajukan restrukturisasi. Dari jumlah tersebut, hanya 1% yang dianggap terdampak pandemi Covid-19.
Jika disetujui oleh lender, peminjam akan mendapat keringanan kredit berupa perpanjangan tenor dan payment holiday. (Baca: Modalku, Investree dan Akseleran Kaji Keringanan Kredit Akibat Pandemi)
Di platform Crowdo pun baru 2-3% peminjam yang mengajukan restrukrisasi. Chief Operating Officer Crowdo Indonesia Nur Fitriani mengatakan, perusahaan bakal memverifikasi pengajuan keringanan kredit.