Ekonomi Terancam Resesi, Ada Tiga Usaha Masih Prospektif Tahun Depan
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memprediksi sektor usaha di bidang kebutuhan dasar seperti makanan-minuman, pendidikan dan kesehatan masih akan bertahan dan tak terdampak dengan ancaman resesi global tahun depan. Adapun sektor usaha lain yang diperkirakan masih akan terganggu kondisi global yakni bisnis berbasis komoditas dan properti.
"Jadi usaha yang berbasis kebutuhan pokok masih bagus, " kata Ekonom Senior INDEF, Aviliani saat menggelar konferensi pers di Jakarta, Jumat (20/12).
Dia menjelaskan, ketiga usaha tersebut akan tetap stabil karena selalu dibutuhkan konsumen. Terlebih, mayoritas masyarakat Indonesia berusia produktif (15-64 tahun).
Sementara untuk sektor properti, Aviliani menyebut trennya masih akan cenderung lesu karena kelebihan pasokan. "Itu (properti) sekarang kan over supply jadi memang ke depan cenderung makin turun," kata dia.
(Baca: BI Sebut Ekonomi Global Belum Membaik, Ekonom Bicara Risiko Resesi AS)
Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya menyatakan, pemerintah telah mengguyurkan sejumlah insentif untuk mendorong gairah bisnis perumahan. Dengan begitu, diharapkan sektor ini bisa berkontribusi lebih tinggi terhadap perekonomian.
Ia pun menyebut sektor properti seharusnya tumbuh 15% dengan berbagai insentif tersebut. Namun pada tahun lalu, pertumbuhannya hanya mencapai 3,5%, sedangkan kontribusi terhadap Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) hingga kini masih di bawah 3%.
"Jadi kapan sektornya peak up 10%-15% per tahun?," kata Sri Mulyani kepada para pengusaha properti dalam Rakornas Bidang Properti Kamar Dagang dan Industri Indonesia di Hotel Intercontinental, Jakarta, Rabu (18/9).
(Baca: Omnimbus Law Diharapkan Mampu Dorong Investasi di Sektor Properti)
Ia meminta target pertumbuhan industri tersebut dapat tercapai pada kuartal III-2019 atau paling lambat 2020. Hal ini lantaran pemerintah sudah menuruti keinginan pengusaha.
Sri Mulyani menjelaskan, terdapat enam keringanan dalam kebijakan fiskal yang telah diberikan pemerintah kepada sektor properti. Pertama, subsidi untuk rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Kedua, peningkatan batasan tidak kena Pajak Pertambahan Nilai (PPN) rumah sederhana sesuai daerahnya.
Ketiga, pembebasan atasumah atau bangunan korban bencana alam. Keempat, kenaikan batas nilai hunian mewah yang dikenakan Pajak Pertambahan Hasil (PPh) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM). "Untuk para pengusaha properti dan real estate, sudah ditingkatkan nilai threshold untuk hunian mewah. Dari sebelumnya Rp 5 miliar - Rp 10 miliar menjadi Rp 30 miliar dan dikurangi nilai PPnBM untuk meringankan nilai pajaknya," ujarnya.
Kelima, revisi UU PPh Nomor 36 tahun 2008 pasal 22 mengenai pajak pemotongan untuk jual beli properti. Sehingga, nilai pajak untuk nilai hunian mewah diturunkan dari 5% menjadi hanya sebesar 1%.
(Baca: Guyur Banyak Insentif, Sri Mulyani Tagih Kontribusi Industri Properti)
Keenam, simplifikasi untuk validasi PPh penjualan tanah dan bangunan. "Jadi waktunya sudah kita sederhanakan dari 15 hari menjadi 3 hari. Semua kita ringankan," ucap dia.
Seluruh kebijakan fiskal tersebut, menurut Sri Mulyani, dikeluarkan pemerintah guna mendorong gairah sektor properti. Harapannya, meningkatkan konsumsi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi dapat turut terdongkrak.
Hasil Survei Properti Residensial di pasar primer oleh Bank Indonesia menunjukkan bahwa penjualan properti residensial secara triwulanan mengalami pertumbuhan negatif sebesar 15,9% (qtq) pada triwulan II 2019. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang melaju positif sebesar 23,77% (qtq) sebagaimana yang tergambar dalam databoks berikut.