Putusan MK Gratiskan Pendidikan Dasar, DPR Soroti Kesiapan Anggaran


Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Hetifah Sjaifudian merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan pemerintah pusat dan daerah harus menggratiskan pendidikan dasar baik di sekolah negeri maupun swasta. Pendidikan gratis harus diselenggarakan di Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan madrasah atau sederajat.
Hetifah mengaku mendukung putusan tersebut. Kendati demikian, ia menyoroti kesiapan anggaran dalam implementasi putusan itu. Ia menyoroti perihal pembiayaan sekolah swasta, mengenai kapasitas anggaran pemerintah, dan kemandirian kualitas sekolah swasta.
Menurutnya, meskipun selama ini sekolah swasta juga mendapatkan bantuan negara seperti BOS, namun nominalnya belum tentu cukup untuk menopang operasional sekolah. Akibatnya, alokasi BOS harus ditambah secara signifikan dan pemerintah daerah melalui APBD perlu menambah alokasi untuk bantuan tersebut.
Ia mengatakan, anggaran pendidikan mandatory spending minimal 20% APBN/APBD perlu dialokasikan sesuai prioritas dan tepat sasaran. Adapula risiko sekolah swasta kehilangan otonomi dalam pengelolaan jika harus bergantung pada negara dan mengurangi inovasi pendidikan.
Berdasarkan hal itu, Hetifah mengusulkan reformasi alokasi dana pendidikan melalui optimalisasi 20% anggaran pendidikan dan realokasi dana proyek non-urgent. Skema pendanaannya dapat berbentuk sekolah swasta yang berbiaya rendah mendapatkan subsidi penuh dari pemerintah, sedangkan sekolah swasta premium tetap boleh memungut biaya tambahan dengan pengawasan.
Politikus PKS ini mendorong perluasan dan peningkatan nilai dana BOS untuk sekolah swasta. Ia menyebut penyaluran dana ini harus dilakukan tepat waktu dan menerapkan mekanisme afirmasi berupa tambahan dana khusus bagi sekolah swasta di daerah tertinggal.
"Yang penting dalam pelaksanaan putusan ini adalah konsistensi regulasi dan harmonisasi antara putusan MK no.3/PUU-XXII/2024, UU Sisdiknas no. 20 tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah no. 18 tahun 2022 tentang Pendanaan Pendidikan. Selain itu Permendikbud terkait BOS juga harus diperkuat," kata Hetifah dalam keterangannya, dikutip Jumat (30/5).
Menurutnya, pelaksanaan putusan MK ini akan efektif bila dilakukan secara bertahap. Pemerintah bisa fokus terlebih dahulu pada sekolah swasta berbiaya rendah dan tertinggal, kemudian di jangka panjangnya pada perluasan pendanaan merata dengan evaluasi berkala.
Komisi X Susun RUU Sisdiknas
Di sisi lain, Hetifah mengungkapkan saat ini Komisi X DPR tengah menyusun RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Hetifah yang juga merupakan Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Sisdiknas itu menyatakan putusan MK ini akan menjadi masukan utama dalam merancang skema pembiayaan pendidikan ke depan.
"Revisi ini bukan sekadar teknis, tetapi menyangkut masa depan generasi Indonesia. Kita ingin memastikan setiap anak Indonesia—di sekolah negeri maupun swasta, di kota maupun pelosok—mendapatkan hak pendidikan yang adil dan bermutu," kata dia.
RUU Sisdiknas 2025 diusulkan oleh Komisi X DPR RI dalam Prolegnas Prioritas 2025-2029, dengan rancangan naskah akademik dan draft undang-undang yang saat ini sedang dimatangkan oleh Panja. Hetifah mengatakan, revisi ini mendesak dilakukan karena UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 dianggap belum lagi cukup mengakomodasi prinsip pendidikan masa kini, seperti pembelajaran sepanjang hayat, fleksibilitas jalur pendidikan, penguatan vokasi, hingga digitalisasi. Selain itu, banyak regulasi pendidikan seperti UU Guru dan Dosen, UU Pendidikan Tinggi, dan UU Pesantren yang masih berjalan secara terpisah dan tumpang tindih.
MK memutuskan pemerintah dan pemerintah daerah harus menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada tingkat pendidikan dasar tanpa memungut biaya atau gratis. Dalam putusan MK Nomor 3/PUU-XXII/2024 ini, Mahkamah menyatakan frasa 'wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya' dalam Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menimbulkan multitafsir dan perlakuan diskriminatif. Menurut Mahkamah, hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.