Ide Dedi Mulyadi Jadikan Vasektomi Syarat Bansos Tuai Respons Negatif


Rencana Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menjadikan vasektomi sebagai syarat menerima bantuan sosial menjadi polemik. Pemerintah pusat akan mempelajari ide tersebut, namun pihak lain menyatakan vasektomi tak sesuai aturan agama hingga hak asasi manusia (HAM).
Sebelumnya, Dedi ingin mengintegrasikan program Keluarga Berencana (KB) dengan bansos. Alasannya, banyak keluarga prasejahtera yang memiliki banyak anak, padahal kebutuhan tidak tercukupi.
"Jangan sampai kesehatannya dijamin, kelahirannya dijamin, tetapi negara menjamin keluarga itu-itu juga," kata Dedi di Bandung, Senin (28/4) dikutip dari Antara.
Namun, ide ini mendapatkan respons negatif. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat mengatakan sterilisasi pada pria haram dalam pandangan Islam karena pemandulan yang bersifat permanen.
Ketua MUI Jawa Barat KH Rahmat Syafei mengatakan vasektomi hanya dibolehkan pada kondisi tertentu seperti menghindari risiko kesehatan serius dan tak menyebabkan kemandulan permanen.
"Intinya, vasektomi itu haram dan itu sesuai Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia IV di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat pada 2012," kata Rahmat Syafei pada Kamis (30/4).
Rahmat mengatakan, persyaratan KB untuk penerimaan bansos bisa saja untuk dilakukan. Namun dia mengingatkan adanya persyaratan yang perlu dipenuhi untuk vasektomi.
Sedangkan Komnas HAM mengatakan tak boleh ada kewajiban untuk melakukan vasektomi. Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengatakan pemaksaan program bansos ditukar vasektomi adalah bentuk penghukuman kepada tubuh.
"Itu menyangkut otoritas atas tubuh. Pemaksaan KB saja termasuk melanggar HAM," kata Atnike pada Jumat (2/5).
Sedangkan Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga) akan tetap berpedoman pada fatwa MUI tahun 2012.
Kementerian tersebut juga menjelaskan syarat tambahan vasektomi pada suami atau ayah, di antaranya memiliki anak minimal dua, usia minimal 35 tahun, anak terkecil berusia minimal lima tahun, dan mendapatkan persetujuan pasangan (istri).
"Selain itu, harus lolos skrining (pemeriksaan) medis oleh dokter yang menangani," kata Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi (KBKR) Wahidin pada Jumat (2/5).