PBHI Soroti Kelemahan Penegak Hukum dalam Administrasi Penanganan Perkara


Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Julius Ibrani menyinggung perihal kegiatan administrasi aparat penegak hukum dalam proses penanganan perkara.
Julius menyampaikan hal ini saat rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI dengan agenda menerima masukan terkait RUU Hukum Acara Pidana, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (24/3).
Julius menyoroti kelemahan aparat hukum dalam surat menyurat, mulai dari memberikan surat panggilan hingga surat perintah dalam upaya paksa.
Lalu kemudian Surat Pemberitahuan Hasil Perkembangan Perkara (SP2HP), dan segala macamnya," kata Julius.
Berdasarkan hal itu, masyarakat seringkali tidak mengetahui proses pengusutan perkara oleh APH telah sampai pada tahap mana karena suratnya tak diberikan.
"Kebanyakan menysul, dan itu pun setelah diminta," kata Julius.
Ia menekankan, pentingnya surat ini karena berkaitan dengan hak seseorang yang menghadapi proses penyidikan. "Tentu berbeda situasinya apabila dia masih dalam konteks penyelidikan," kata dia.
Beberapa pekan lalu, DPR juga memanggilpraktisi hukum Maqdir Ismail untuk dimintai masukan dalam RUU Hukum Acara Pidana. Maqdir, pengacara Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, mengatakan aturan tersebut harus bisa memastikan kerugian negara dalam penetapan seorang menjadi tersangka tindak pidana korupsi.
Maqdir mengatakan, saat ini, dalam proses penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK ataupun Kejaksaan Agung berdasarkan saksi dan ahli manajemen.
Pada prosesnya, ahli manajemen akan ditanyai kerugian dari tindakan pidana. Namun, ahli biasanya hanya akan menjawab dengan kata-kata 'kemungkinan'.
Berdasarkan hal itu, Maqdir mengusulkan agar penetapan tersangka dibenahi lagi. Ia menekankan, perlunya bukti permulaan yang sesuai dengan apa yang disangkakan kepada seseorang.