Imbas Pandemi Corona, Petani Sawit Terancam Kelaparan
Petani kelapa sawit mulai terimbas pandemi virus corona. Pembatasan-pembatasan yang diterapkan selama pandemi virus corona membuat aktivitas menanam dan panen terhambat sehingga menyebabkan para petani kecil terancam kelaparan.
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit atau SPKS Mansuetus Darto mengatakan, kebijakan jaring pengaman sosial belum menyentuh para pekerja di sektor perkebunan kelapa sawit. Padahal, cadangan makanan petani mulai menipis akibat mayoritas lahan yang dimiliki dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit.
"Temuan-temuan kami di lapangan, petani sawit itu sudah tidak punya pangan. Dulunya mereka punya sawah atau ladang, kemudian dikonversikan menjadi kebun sawit," kata dia dalam diskusi daring di Jakarta, Jumat (24/4).
Menurut dia, sejak tahun 1980 alih fungsi lahan sawit begitu masif. Hal ini menyebabkan ketahanan pangan terancam dalam kondisi seperti ini. Kondisi semakin buruk dengan tidak adanya kejelasan mengani perkembangan industri sawit dalam waktu dekat.
Meskipun saat ini harga tandon buah sawit (TBS) relatif masih stabil tinggi di angka Rp 1.500 per kilogram, namun terdapat ketidakpastian harga dalam dua bulan ke depan. "Kami tidak tahu dalam satu atau dua bulan ke depan mungkin ada pembatasan jam operasional sawit," kata dia.
(Baca: Pemerintah Pastikan Bakal Tambah Anggaran Bansos Pandemi Corona)
Menurut dia, sudah ada pembatasan jam operasional pabrik di Kalimantan Timur. Beberapa pabrik di Kabupaten Labuan Batu Utara di Sumatera Utara juga sudah melakukan pembatasan jam kerja membuat produksi semakin terbatas
Di sisi lain, kondisi kian sulit lantaran harga minyak dunia terus menerus mengalami penurunan. Imbasnya, Pertamina lebih cenderung membeli minyak bumi dibandingkan mengembangkan biodiesel dan meningkatkan serapan cruide palm oil (CPO) dalam negeri.
"Kalau situasinya seperti itu, ada tantangan besar untuk program serapan domestik atas CPO kita. Kalau pasar domestik tidak ada maka yang terjadi adalah penumpukan CPO di kilang-kilang pabrik dan pelabuhan," kata dia.
Hal ini telah terbukti saat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM menyebut penyaluran biodiesel sepanjang kuartal pertama tahun ini tak mencapai target. Salah satu faktornya karena penyebaran Covid-19.
Kementerian ESDM mencatat realisasi penyaluran biodiesel hingga akhir Maret 2020 sebesar 2,17 juta kilo liter (KL). Angka tersebut hanya 90,4% dari permintaan pembelian (purchase order/PO) sebesar 2,4 juta KL.
(Baca: Manajemen & Serikat Pekerja KFC Sepakat Pemotongan Gaji dan Tunda THR)
Direktur Konservasi Energi Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Hariyanto mengatakan tak tercapainya target penyaluran biodiesel karena permintaan menurun."Terjadi penurunan demand dari penggunaan B30 yang secara langsung akan mengurangi penggunaan biodiesel," ujar Hariyanto dalam siaran pers pada Kamis (23/4).
Secara perinci, Hariyanto menyebut volume penyaluran biodiesel pada Januari 2020 hanya 699,5 ribu KL atau 87,53% dari PO sebesar 789,64 ribu KL. Pada Februari 2020, realisasi penyerapan biodiesel naik hingga menyentuh angka 756,96 ribu KL atau 94,72% dari PO sebesar 799,3 ribu KL.
Namun, penyaluran biodiesel pada Maret 2020 turun ke angka 713,86 ribu KL atau 89,32% dari PO sebesar 809,95 ribu KL. Padahal, konsumsi biodiesel selalu naik dari tahun ke tahun.
Pada 2018 lalu, konsumsi biodiesel bisa mencapai 3,55 juta KL atau meningkat 49% dibandingkan 2017 sebesar 2,37 juta KL. Peningkatan terjadi karena pemerintah memperluas insentif B20 ke sektor Non Public Service Obligation (PSO).