JK Serahkan Pengusutan Intimidasi Wartawan di Munajat 212 ke Aparat
Banyak kalangan menyesalkan kekerasan dan intimidasi kepada wartawan yang dilakukan massa beratribut Front Pembela Islam (FPI), Kamis malam kemarin. Wakil Presiden Jusuf Kalla menyerahkan pengusutan kasus yang terjadi pada acara “Munajat 212” di area Monas, Jakarta, itu kepada aparat hukum.
Menurut JK, demikian dia biasa disapa, intimidasi kepada siapa pun melanggar aturan. “Kepada siapa saja, wartawan, masyarakat, tentu salah,” kata Kalla usai menghadiri silaturahim bersama kiai muda di Kota Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (23/2). “Tentu ada hukumnya. Ya, jalankan saja.”
(Baca: Ma'ruf Amin Sesalkan Munajat 212 Diwarnai Intimidasi Jurnalis )
Di tempat terpisah, saat memberi sambutan dalam “Dialog Nasional Pemilu 2019 yang Aman, Tertib, dan Badunsanak” di Padang, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Oesman Sapta Odang juga menyayangkan tindak kekerasan terhadap jurnalis yang sedang bertugas ini. Selagi si juru warta tersebut bekerja profesional, tidak ada pembenaran sama sekali atas intimidasi.
Sebelumnya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mengecam keras peristiwa ini. Mereka meminta aparat penegak hukum menangkap pelaku dan mengadilinya di pengadilan. Ketua AJI Jakarta Asnil Bambani Amri mengatakan, hukuman berat sepatutnya diberikan agar kasus yang sama tak terulang. “Agar ada efek jera,” kata Asnil dalam keterangan resminya, Jumat (22/2).
Dalam keterangan AJI Jakarta, kejadian bermula saat adanya kabar copet yang tertangkap di tengah acara salawatan Munajat 212 di Silang Monas pukul 21.00 WIB. Wartawan yang saat itu sedang menunggu narasumber lantas berkumpul mendekati lokasi kejadian.
Tiba-tiba, banyak massa yang mengerubungi awak media. Beberapa orang lantas membentak para jurnalis dan memaksa menghapus gambar kericuhan. (Baca: AJI Desak Kepolisian Tangkap Pelaku Kekerasan Jurnalis di Munajat 212)
Saat sedang menghapus gambar, Koordinator Liputan CNN Indonesia TV, Joni Aswira sempat mendengar intimidasi dari massa. “Kalian dari media mana, dibayar berapa? Kalau rekam yang bagus saja, yang jelek tidak usah,” teriak massa.
(Baca: Aliansi Jurnalis Sebut Persekusi Online Jadi Tren Kekerasan Baru)
Nasib lebih parah dialami wartawan Detikcom yang mengalami kekerasan fisik. Awalnya, jurnalis tersebut dicekik oleh seseorang yang ingin menghapus gambar dan video yang sedang direkam. Massa lalu membawanya ke tenda VIP lantaran ia enggan menyerahkan telepon selulernya. Di dalam tenda, sang wartawan mengalami kekerasan fisik berupa pemukulan hingga pencakaran.
Telepon seluler wartawan tersebut juga diambil massa, lalu rekaman video serta foto yang ada di dalamnya dihapus. Tidak hanya itu, aplikasi WhatsApp milik jurnalis Detikcom itu dihapus. “Usai kejadian, korban melapor ke Polres Jakarta Pusat dan melakukan visum,” demikian keterangan AJI Jakarta.
(Baca: AJI: Ucapan Prabowo Soal Media Berbohong Berlebihan dan Sentimentil)
LBH Pers juga memberi pernyataan bahwa jurnalis mendapat perlindungan hukum saat menjalankan tugasnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. Dalam Pasal 18 disebutkan bahwa ancaman pidana dua tahun atau denda 500 juta apabila ada pihak yang menghalangi kerja jurnalistik.