Revisi PP Nomor 78 Tahun 2015 Akan Dikaji Setelah Real Count Rampung

Dimas Jarot Bayu
23 April 2019, 19:17
Jokowi, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri, PP Nomor 78 Tahun 2015
Dimas Jarot Bayu/Katadata
Capres nomor urut 01 Joko Widodo saat menghadiri kampanye di hadapan di hadapan ratusan buruh yang tergabung dalam Relawan Buruh 'Sahabat Jokowi' di Gedung Budaya Sabilulungan, Bandung, Jawa Barat, Selasa (9/4).

Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengatakan, wacana untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan baru akan dilakukan setelah 22 Mei 2019. Menurut Hanif, pengkajian revisi PP Nomor 78 Tahun 2015 masih akan menunggu hasil penghitungan suara Pilpres 2019 secara resmi oleh KPU.

Pasalnya, wacana ini muncul sebagai janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam posisinya sebagai calon presiden petahana. "Nanti setelah pengumuman KPU mungkin baru kami kaji secara mendalam," kata Hanif di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat, Selasa (23/4).

Menurut Hanif, pihaknya sebenarnya sudah mendapatkan masukan terkait hal yang perlu direvisi dalam PP Nomor 78 Tahun 2015. Beberapa di antaranya terkait dengan peran Dewan Pengupahan dan skema penghitungan upah minimum.

Hanya saja, masukan tersebut harus ditelusuri lebih lanjut, karena ada beberapa masalah atas masukan yang berasal dari buruh. Contohnya, usulan mengenai perlunya survei komponen hidup layak (KHL) dimasukkan dalam skema penghitungan upah minimum.

Nah, Hanif mempertanyakan mengenai siapa yang akan melakukan survei dan bagaimana metodologi survei terkait. Menurutnya survei KHL yang dilakukan buruh dan pengusaha rentan menimbulkan perbedaan. Oleh karena itu, kajian terkait usulan survei KHL ini perlu dilakukan lebih lanjut.

Lebih lanjut, Hanif mengklaim PP Nomor 78 Tahun 2015 yang ada sudah cukup memberikan kepastian kepada seluruh pihak. Bagi dunia usaha, PP Nomor 78 Tahun 2015 memudahkan perencanaan karena kenaikan upah bisa diprediksi. Kepastian itu pula akan didapatkan oleh buruh. "Karena setiap tahun apapun alasannya upah buruh dijamin naik," ujar Hanif.

Hanif pun menilai kenaikan upah buruh bakal signifikan karena disesuaikan dengan faktor Produk Domestik Bruto (PDB). Kenaikannya juga akan menutupi konsumsi karena telah menghitung inflasi. Dengan demikian, ia pun menilai PP Nomor 78 Tahun 2015 sudah cukup mampu memberikan kepastian bagi calon angkatan kerja baru.

Upah besar justru dipandang Hanif akan mempersulit perusahaan untuk menambah tenaga kerja dan akan menghambat angkatan kerja baru untuk memperoleh pekerjaan.

Sekadar info, Jokowi sebagai calon presiden petahana sebelumnya sempat berjanji merevisi PP Nomor 78 Tahun 2015 ketika berkampanye di Bandung, Jawa Barat, Selasa (9/4). Janji Jokowi adalah dirinya bakal membentuk tim khusus untuk membahas revisi PP Nomor 78 Tahun 2015 tersebut.

Tim ini nantinya beranggotakan elemen pemerintah, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) dan federasi serikat buruh lainnya. “Kami bicara bersama, duduk satu meja,” kata Jokowi.

PP Nomor 78 Tahun 2015 sendiri sudah sejak lama dikritik para buruh. Formulasi upah dalam peraturan tersebut dinilai tidak mencerminkan keadilan terhadap buruh. Rumus perhitungan kenaikan upah dalam aturan ini, adalah Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun berjalan + [UMP tahun berjalan x (inflasi nasional + pertumbuhan ekonomi)].

Para buruh menilai inflasi dan pertumbuhan ekonomi tidak bisa dijadikan acuan dalam menentukan UMP. Sebab, angka kebutuhan hidup layak (KHL) buruh di Jakarta, Bekasi, dan Tangerang per Oktober 2018 mencapai Rp 4,2 juta-Rp 4,5 juta. Perhitungan ini berdasarkan survei 60 item kebutuhan yang dijadikan patokan.

Reporter: Dimas Jarot Bayu

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...