DPR Tolak Calon Hakim MA, Komisi Yudisial Sebut Beda Pertimbangan
Komisi Yudisial kembali membuka pendaftaran calon Hakmi Agung dan Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung (MA). Pembukaan kembali pendaftaran lantaran Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menolak keempat calon yang diajukan sebelumnya.
Ketua Bidang Rekrutmen Hakim Komosi Yudisial Aidul Fichiadi Azhari berpendapat penolakan terjadi imbas perbedaan pertimbangan antara institusinya dan DPR. Komisi Yudisial menekankan aspek kompetensi dan integritas dalam proses seleksi, sedangkan DPR sebagai lembaga politik memiliki pertimbangan lain.
"Kami tidak bisa mempengaruhi kewenangan DPR untuk meloloskan atau tidak," kata dia usai memberikan keterangan pers di Komisi Yudisial, Jakarta, Selasa, (28/5).
(Baca: Komisi Yudisial Buka Pendaftaran Calon Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc)
Ia meyakinkan, proses seleksi yang dilakukan Komisi Yudisial sudah cukup ketat, dimulai dari seleksi administrasi, seleksi kualitas dengan melihat karya profesi calon masing-masing, dan penilaian profil.
Komisi Yudisial juga bekerja sama dengan Pusat Pelaporan Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi Pembarantasan Korupsi (KPK). Tujuannya untuk mempelajari rekam jejak para calon, terutama terkait kewajaran harta kekayaan.
Data atau informasi dari PPATK dan KPK menjadi bahan untuk penilaian profil guna melihat potensi calon melakukan tindak pidana ke depannya. "Jika iya maka tidak akan kami loloskan," kata dia.
Ketatnya proses seleksi, menurut dia, juga tercermin dari keputusan Komisi Yudisial yang hampir tidak pernah meloloskan calon sejumlah yang diminta MA. "Misalnya MA minta tujuh, kami hanya meloloskan empat,” ujarnya.
Sebelumnya, Komisi Yudisial mengajukan ke DPR empat calon Hakim Agung, yakni, Ridwan Mansyur, Matheus Samiaji, Cholidul Azhar, dan Sartono. Namun, keempatnya ditolak Komisi III.
Keempatnya dianggap tidak layak untuk menjadi Hakim Agung. Komisi III pun menyarankan Komisi Yudisial untuk lebih serius dalam menyeleksi calon-calon Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc.