Terpidana Mati Hadapi Tantangan dari Soal Makanan hingga Depresi
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat sederet persoalan dalam penanganan terpidana mati di Indonesia. Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan Kontras di delapan lembaga pemasyarakatan (Lapas) pada Desember 2018-Juli 2019.
Penelitian dilakukan dengan mewawancarai tujuh terpidana mati, dua pengacara, dan dua perwakilan keluarga, serta tinjauan pustaka. Dari penelitian tersebut ditemukan beragam persoalan dari soal makanan, akses bertemu keluarga, hingga penanganan kesehatan fisik dan mental.
Kepala Divisi Pembelaan Hak Asasi Manusia Kontras Arif Nur Fikri memaparkan, terpidana mati khususnya di Lapas Nusakambangan kerap tak bisa beraktivitas dengan baik. Kondisi ini berbeda dengan para terpidana mati yang ditahan di Lapas lainnya.
"Namun di sisi lain para terpidana yang ditahan di luar Lapas Nusa Kambangan mengeluhkan terkait dengan kepadatan penghuni dalam sel penahanan," kata Arif di Jakarta, Kamis (10/10).
(Baca: Tersisa 37 Vonis, Amnesty International Dorong Hukuman Mati Dihapus)
Ia juga menyebut terpidana mati mengeluhkan persoalan makanan. Ini karena jumlah terpidana di dalam Lapas seringkali melebihi kapasitas. "Beberapa narapidana asing juga mengeluhkan ketiadaan akses perpustakaan di beberapa Lapas," kata dia.
Kemudian, ada juga persoalan pemenuhan hak atas kesehatan, baik fisik maupun mental. Arif mengatakan, di beberapa Lapas, sudah ada petugas yang bisa memberikan layanan konseling. Hanya saja, layanan tersebut baru bersifat assessment.
"Jadi para petugas lapas tidak memberikan tindakan, karena bukan kapasitasnya. Biasanya tindak lanjutnya hanya diserahkan ke rohaniawan, bukan dokter," kata dia.
Dalam beberapa kasus, Arif menyebut para terpidana mati yang mengalami depresi justru mengalami tindak kekerasan. Mereka pun tak jarang ditahan di dalam sel isolasi karena mengalami depresi.
Menurut dia, kondisi ini terjadi karena minimnya pemahaman para petugas Lapas dalam menangani kesehatan mental para terpidana yang mengalami depresi. "Selain itu faktor anggaran kesehatan bagi terpidana masih minim," ucapnya.
(Baca: Perang Narkoba di Pesisir Indonesia)
Atas berbagai persoalan itu, Arif merekomendasikan perubahan Peraturan Pemasyarakatan guna memenuhi standar internasional untuk semua kategori Lapas. Para petugas Lapas juga perlu dilatih dalam memperlakukan narapidana, khususnya para terpidana mati.
Ia juga meminta adanya peningkatan anggaran perawatan kesehatan dan makanan di dalam Lapas. Lebih lanjut, ia meminta agar ada akses obat-obatan yang sesuai dengan kondisi medis para terpidana mati.
Kemudian, ia meminta adanya izin akses bagi LSM dan organisasi kemanusiaan untuk memantau kondisi lapas dan memberikan bantuan kepada para tahanan. "Kami juga mendesak tindakan kekerasan yang harus diproses secara transparan dan akuntabel di lapas," kata dia.