Jelang Berlakunya UU Baru, KPK Ungkap Empat Perkara Korupsi

Dimas Jarot Bayu
17 Oktober 2019, 02:04
KPK, revisi UU KPK,
ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Aksi damai di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Senin (9/9/2019).

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis empat perkara yang tengah ditanganinya pada Rabu (16/10) malam. Rilis empat perkara ini hanya beberapa jam sebelum Undang-undang tentang KPK berlaku pada Kamis (17/10) setelah sebulan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dua dari empat perkara yang dirilis merupakan hasil operasi tangkap tangan (OTT) yang digelar KPK di Medan, Sumatera Utara; Kalimantan Utara, dan Jakarta sejak Selasa (15/10) hingga Rabu. Sementara, dua lainnya merupakan hasil pengembangan penyidikan perkara.

Kedua perkara itu, yakni kasus dugaan suap di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin, Jawa Barat dan kasus dugaan suap kerja sama pelayaran yang melibatkan mantan anggota Komisi VI DPR Bowo Sidik Pangarso.

(Baca: Kali Ketiga Ditanya Perppu KPK, Jokowi Bungkam)

Dalam kasus di Medan, KPK menetapkan Wali Kota Medan Dzulmi Eldin, Kepala Bagian Protokoler Kota Medan Syamsul Fitri Siregar, dan Kepala Dinas PUPR Medan Isa Ansyari sebagai tersangka. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, Dzulmi diduga menerima suap terkait proyek dan jabatan sejak Maret 2019 dari Isa.

Rinciannya, Dzulmi mendapatkan uang sebesar Rp 20 juta setiap bulan sejak Maret-Juni 2019. Pada 18 September 2019, Isa juga memberikan uang senilai Rp 50 juta kepara Dzulmi.

"Kadis PUPR lalu mengirim Rp 200 juta kepada wali kota atas permintaan melalui protokoler untuk keperluan pribadi," kata Saut.

Menurut Saut, uang senilai Rp 200 juta tersebut untuk menutupi pengeluaran Dzulmi saat perjalanan dinas ke Jepang pada Juli 2019. Saat perjalanan dinas itu, Dzulmi mengajak istri, dua orang anaknya, serta beberapa orang yang tidak berkepentingan.

(Baca: KPK Tangkap Tangan Wali Kota Medan, Uang Rp 200 Juta Diamankan)

Dzulmi bahkan memperpanjang waktu tinggal di Jepang selama tiga hari di luar masa perjalanan dinasnya. "Akibat keikutsertaan pihak-pihak yang tidak berkepentingan, terdapat pengeluaran perjalanan dinas wali kota yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan tidak bisa dibayarkan dengan dana APBD," kata Saut.

Dalam kasus di Kalimantan Utara, KPK menetapkan Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional XII Balikpapan Reffly Tuddy Tangkere, Pejabat Pembuat Komitmen di Satker Pelaksanaan Jalan Nasional XII Balikpapan Andi Tejo Sukmono, serta Direktur PT Harlis Tata Tahta (HTT) Hartoyo sebagai tersangka.

Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, Reffly dan Andi diduga menerima suap sejumlah Rp 2,1 miliar terkait pengerjaan proyek jalan di Kalimantan Timur dari Hartoyo. Proyek tersebut, yakni Pekerjaan Preservasi, Rekonstruksi Sp.3 Lempake-Sp.3 Sambera-Santan-Bontang-Dalam Kota Bontang-Sangatta.

Reffly dan Andi menerima uang tersebut dengan besaran masing Rp 200-300 juta sebanyak delapan kali. "Commitment fee diduga diterima RTU (Reffly Tuddy Tangkere) dan ATS (Andi Tejo Sukmono) melalui setoran uang setiap bulan dari HTY (Hartoyo) baik secara tunai maupun transfer," kata Agus.

(Baca: Kasus Proyek Dinas PUPR, KPK Tangkap Bupati Indramayu)

Terkait kasus ketiga, KPK menetapkan dua mantan Kalapas Klas I Sukamiskin, Wahid Husein dan Deddy Handoko sebagai tersangka. Selain itu, KPK mentersangkakan narapidana kasus korupsi, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan dan Direktur Utama PT Glori Karsa Abadi (GKA) Rahadian Azhar.

KPK pun menetapkan mantan Bupati Bangkalan Fuad Amin sebagai tersangka. Hanya saja, Fuad meninggal dunia ketika ketika proses penyidikan berlangsung. Dengan demikian, status tersangka Fuad menjadi gugur.

Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan mengatakan, Deddy diduga menerima suap berupa mobil Toyota Kijang Innova dari Wawan. Sementara, Wahid diduga menerima suap senilai Rp 75 juta dari Wawan.

Suap itu diberikan agar Wawan mendapatkan izin keluar lapas. "Izin yang berusaha didapatkan adalah izin berobat ke luar lapas maupun izin luar biasa," kata Basaria.

Basaria mengatakan, Wahid juga diduga menerima gratifikasi berupa mobil dari salah satu warga binaan di Lapas Sukamiskin. Wahid tidak melaporkan penerimaan gratifikasi tersebut dalam jangka waktu 30 hari kerja kepada KPK sebagaimana ketentuan Pasal 12 C UU Tipikor.

Adapun, Rahadian diduga menyuap Wahid agar perusahaannya, yakni PT GKA dan PT FBS dapat bekerja sama sebagai mitra koperasi dan mitra kerja sama pembinaan warga binaan. Hal itu diduga dilakukan dengan membeli Toyota Innova milik Wahid seharga Rp 200 juta.

Rahadian juga menyanggupi untuk membelikan Wahid sebuah mobil Mitsubishi Pajero Sport hitam senilai Rp 500 juta. Menurut Basaria, Rahadian awalnya meminta Wahid untuk membayar cicilan Rp 14 juta setiap bulannya.

Hanya saja, Wahid keberatan membayarkan cicilan tersebut. "Akhirnya RAZ (Rahadian Azhar) menyanggupi untuk membayar cicilan," ujar Basaria.

(Baca: Ganti Pengacara, Bowo Bakal Ubah Keterangan Soal Mendag dan Dirut PLN)

Dalam kasus terakhir yang dirilis, KPK menetapkan Direktur Humpuss Transportasi Kimia (HTK) Taufik Agustono sebagai tersangka. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, Taufik diduga menyetujui pemberian uang suap dari perusahaannya kepada Bowo Sidik.

Hal itu dilakukan agar Bowo Sidik bisa memuluskan kontrak kerja sama pengangkutan distribusi pupuk milik PT Pupuk Indonesia dengan kapal PT HTK. "Tersangka TAG (Taufik Agustono) sebagai Direktur PT HTK membahasnya dengan internal manajemen dan menyanggupi sejumlah fee untuk BSP (Bowo Sidik Pangarso)," kata Alexander.

Adapun, PT HTK diduga memberikan suap kepada Bowo Sidik senilai US$ 88.733 dan Rp 89,4 juta. Uang tersebut diberikan dalam empat tahap ke perusahaan Bowo Sidik, yakni PT Inersia Ampak Engineers sejak November 2018 hingga Maret 2019.

Editor: Yuliawati

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...