Luhut Cabut Larangan Ekspor Bijih Nikel
Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, larangan ekspor bijih nikel bagi perusahaan yang diketahui tidak melanggar aturan kuota. Hal ini seiring dengan evaluasi yang dilakukan tim investigasi terkait pelanggaran aturan kuota ekspor bijih nikel.
"Sudah (dicabut larangan ekspor bijih nikel) buat yang tidak melanggar," kata Luhut di kantornya, Jakarta, Kamis (7/11).
Larangan tersebut, menurut dia, tetap diberlakukan kepada beberapa perusahaan yang diduga melanggar aturan kuota ekspor bijih nikel. Pencabutan larangan bagi beberapa perusahaan tersebut akan menunggu hasil evaluasi tim investigasi. Rencananya, ada rapat lanjutan untuk membahas hal tersebut.
(Baca: Menteri Luhut Pantau Langsung Semua Proyek Nilai di Atas US$ 1 Miliar)
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menambahkan, rapat tersebut akan melibatkan tim investigasi bersama BKPM dan para pengusaha nikel. Rapat bakal digelar di kantor BKPM, Jakarta pada Senin (11/11).
“Kami hari Senin akan bahas kelanjutan dari ekspor nickel ore (bijih nikel),” kata Bahlil.
Agar tak ada lagi perusahaan yang melanggar ketentuan ekspor bijih nikel, Luhut telah memerintahkan adanya revisi Peraturan Menteri ESDM. Revisi aturan itu juga dilakukan agar pengolahan bijih nikel dalam negeri bisa terintegrasi dengan komoditas lainnya, seperti konsentrat tembaga (copper consentrate).
Selain itu, Luhut memastikan pemerintah akan membuat patokan harga jual rata-rata bagi nikel untuk satu tahun pascaberlakunya larangan ekspor bijih nikel. "Dikurangi nanti dengan pajak dan ongkos," kata Luhut.
(Baca: Pemerintah Tunggu Investigasi untuk Tentukan Aturan Ekspor Bijih Nikel)
Pelanggaran kuota ekspor bijih nikel terkuak setelah pemerintah menghentikan ekspor bijih nikel sejak 29 Oktober 2019. Pemerintah menduga ada perusahaan yang mengekspor bijih nikel melebihi kuota, meski keputusan itu rencananya akan berlaku mulai 1 Januari 2020.
Luhut sebelumnya mengatakan, ekspor bijih nikel telah melebihi kuota dengan kenaikan hampir tiga kali lipat. Hal ini terlihat dari jumlah kapal pengangkut bijih nikel yang naik dari rata-rata 30 kapal per bulan menjadi 100-130 kapal per bulan, sejak September lalu.
Selain itu, banyak ditemukan perusahaan yang memiliki smelter maupun yang tidak, mengekspor bijih nikel dengan kadar tinggi mencapai 1,7% hingga 1,8% dan diperkirakan merugikan negara.