Argumen Tiga Pimpinan KPK Anggap UU KPK Cacat Hukum dalam Sidang di MK
Mahkamah Konstitusi (MK) mulai menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan perkara uji formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Perkara uji formil ini diajukan oleh tiga pimpinan komisioner lembaga antirasuah.
Mereka yakni Agus Rahardjo, Laode Muhamad Syarif, dan Saut Situmorang. Ketiganya menguasakan keterangan mereka kepada para kuasa hukum yang tergabung dalam Tim Advokasi UU KPK.
Dalam sidang gugatan uji materi atau judicial review UU KPK di MK, Kuasa Hukum Feri Amsari meminta UU KPK ditunda. "Kami melakukan pengajuan formil agar MK dapat memutuskan dalam provisi menyatakan menunda pemberlakukan UU 19/2019 tentang KPK," kata Feri di ruang rapat MK, Jakarta, Senin (12/9).
(Baca: Belum akan Terbitkan Perppu, Jokowi: Tunggu UU KPK yang Baru Berlaku)
Menurutnya, ada beberapa hal yang membuat UU tersebut memiliki kecacatan hukum. Feri mengatakan, pembuatan aturan tersebut tidak sesuai dengan UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No. 17/2014 tentang MPR, DPR, DPR, dan DPRD, serta Peraturan DPR No. 1/2014 tentang Tata Tertib.
Ia menjelaskan, pengambilan putusan UU KPK saat sidang paripurna di DPR tidak memenuhi kuorum. Setidaknya, ada 180 anggota DPR yang menitipkan presensi atau tidak hadir.
Kecacatan lainnya lantaran pimpinan KPK tidak dilibatkan dalam penyusunan aturan. Padahal, KPK merupakan bagian dari eksekutif dan berkaitan langsung terhadap UU KPK.
(Baca: Pemohon Uji Materi UU KPK Laporkan Hakim MK ke Dewan Etik)
Tidak hanya itu, penyusunan UU KPK tidak melibatkan pihak lain secara partisipatif, seperti pelibaatan publik dan tim ahli. Saat itu, rancangan UU KPK juga tidak bisa diakses publik.
Selain itu, perubahan kedua UU KPK tersebut tidak melalui proses perencanaan dalam legislasi nasional (prolegnas) prioritas. Pembahasan UU KPK justru dilakukan dalam waktu cepat selama 11 hari. "UU tidak sesuai naskah akademik yang memadai," ujar Feri.
180 Anggota DPR Titip Kehadiran saat Pengesahan UU KPK
Tim kuasa hukum KPK juga menyoroti 180 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menitipkan presensi atau kehadiran saat sidang paripurna pengesahan UU KPK. "Setidaknya, 180 anggota DPR tidak hadir dan titip presensi. Seolah-olah terpenuhi kuorum 287-289 anggota hadir secara fisik," kata Feri.
Berdasarkan Peraturan DPR No. 1/2014 tentang Tata Tertib Pasal 150, pengambilan keputusan dapat dilakukan bila dihadiri oleh lebih dari separuh jumlah anggota rapat yang terdiri atas lebih dari separuh unsur fraksi. Namun, lanjut Feri, para anggota DPR tidak hadir secara fisik dalam sidang paripurna tersebut.
Selain itu, perbuatan anggota DPR dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
(Baca: MK Tolak Gugatan Mahasiswa soal UU KPK karena Salah Nomor )
Oleh karena itu, para pimpinan KPK menilai pembiaran tindakan DPR tersebut telah merusak prosedur pembuatan perundang-undangan. Akibatnya, aspirasi masyarakat yang semestinya diwakili oleh anggota DPR menjadi hilang.
Meski begitu, Feri mengatakan masih ada kendala pada alat bukti yang menunjukkan sidang tersebut tidak memenuhi kuorum. Saat ini, bukti yang digunakan hanya berupa print out dari keterangan pers.
Ia mengatakan, alat bukti seperti daftar hadir dan hasil sidang paripurna tersebut sulit untuk diakses. Pihaknya juga telah mengajukan akses ke Pusat Informasi DPR, namun belum mendapatkan respons hingga saat ini. "Jadi proses pembentukan UU tersebut tidak memenuhi akses keterbukaan dan perluasannya cukup minim ke masyarakat," ujar dia.
Oleh karena itu, para pimpinan KPK melakukan pengajuan formil agar Mahkamah Konstitusi dapat menunda pemberlakuan UU KPK. Permohonan tersebut diajukan oleh tiga pimpinan KPK serta 10 tokoh masyarakat lainnya yang ikut menjadi pemohon.
(Baca: Mahasiswa Pemohon Uji Materi Revisi UU KPK Kecewa dengan Sikap MK )