Harga Minyak Diramal Anjlok ke US$ 10, Terendah Sejak Krisis Moneter
Harga minyak bergerak bervariasi pada hari ini. Namun, analis memperkirakan harga komoditas ini berpotensi anjlok ke level US$ 10 atau terendah sejak krisis moneter 1998, akibat pandemi corona.
Pandemi itu membuat permintaan terus menurun. Analis Morningstar memperkirakan permintaan minyak turun 2,8 juta barel per hari tahun ini, atau penurunan selama setahun terbesar dalam hampir 40 tahun.
Alhasil, harga minyak anjlok lebih dari 60% sejak awal tahun ini. Berdasarkan data Bloomberg pada Kamis (26/3) pukul 07.22 WIB, harga minyak Brent untuk kontrak Mei 2020 naik 0,8% menjadi US$ 27,61 per barel.
Sedangkan harga minyak jenis WTI untuk kontrak Mei 2020 turun 0.78% menjadi US$ 24,3 per barel. (Baca: Masuki Masa Tersuram, Analis Prediksi Harga Minyak di Bawah US$ 20)
Karena itu, Amerika Serikat (AS) meminta gembong OPEC, Arab Saudi untuk menghentikan perang harga minyak dengan Rusia. Hal ini terjadi karena mereka gagal sepakat dalam hal perpanjangan pemangkasan pasokan minyak setelah 31 Maret.
“Arab Saudi punya peluang nyata untuk mengambil kesempatan itu (menjaga stabilitas harga) dan meyakinkan kembali pasar energi global dan keuangan,” kata Departemen Luar Negeri AS dalam pernyataan resminya, dikutip dari CNBC Internasional, Kamis (26/5).
Kesepakatan antara OPEC dan Rusia yang gagal membuat pasokan minyak berpotensi naik mulai April nanti. Di satu sisi, tingkat penyimpanan minyak di seluruh fasilitas penyimpanan dunia telah naik rata-rata sekitar tiga perempat sejak Januari lalu.
Analis di konsultan energi Rystad Energy memperkirakan, penyimpanan minyak di Kanada akan penuh dalam hitungan hari dan di seluruh dunia dalam beberapa bulan. Setidaknya, pasokan minyak secara global sekitar 7,2 miliar barel saat ini.
(Baca: Anjlok Terdalam Sejak 1991, Harga Minyak Bisa Picu Gelombang Deflasi)
Mereka pun memperingatkan industri bahwa harga minyak bisa jatuh ke US$ 10 per barel tahun ini. "Harga ditakdirkan untuk mengikuti nasib yang sama seperti yang mereka lakukan pada 1998, ketika Brent jatuh ke level terendah sepanjang masa kurang dari US$ 10 per barel," kata Analis Rystad Energy Paola Rodriguez-Masiu, dikutip dari The Guardian.
Hal senada disampaikan oleh analis Barclays. “jika situasi virus corona terus memburuk, seperti yang terjadi baru-baru ini, harga minyak bisa jatuh ke kisaran US$ 10-US$ 15 dalam jangka pendek,” kata Barclays dalam laporannya, dikutip dari Forbes.
Jika hal itu terjadi, produsen dengan biaya terendah pun bakal tertekan secara finansial. Barclays memperkirakan biaya produksi Arab Saudi US$ 3,5 per barel. Secara teori, kerajaan masih bisa untung tipis jika harga minyak US$ 10 per barel.
Berdasarkan data Indexmundi, harga minyak Brent sempat berada pada level US$ 9,8 per barel pada Desember 1998 atau saat krisis moneter. Sedangkan harga minyak WTI terakhir kali di bawah US$ 10 pada 1974.
(Baca: Shell Pangkas Belanja Modal US$ 5 Miliar Imbas Anjloknya Harga Minyak)