Pengelolaan Industri Ekstraktif: Transparansi Menjadi Kunci
Industri pertambangan selama ini kerap dipersepsikan negatif lantaran banyaknya permasalahan yang kerap membelit. Mulai dari izin bermasalah, tunggakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), eksploitasi berlebihan, perusakan lingkungan, pertambangan ilegal hingga ladang korupsi para pemburu rente.
Sebut saja misalnya banyaknya kasus perizinan yang bermasalah. Berdasarkan data Kementerian ESDM per 30 Januari 2017, terdapat 9.443 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di seluruh Indonesia. Sebanyak 6.240 IUP telah melakukan perbaikan dan 3.203 masih bermasalah atau berstatus non clear and clean (CnC).
Begitupun dengan persoalan tunggakan PNBP. Hingga Februari 2017, jumlah tunggakan PNBP dari industri tambang yang ditaksir mencapai Rp 5,07 triliun. Jumlah itu berkurang Rp 19,93 triliun dari perhitungan akhir 2016 yang mencapai Rp 25 triliun.
Angka tunggakan tersebut belum termasuk data yang dilansir oleh koalisi masyarakat sipil untuk transparansi dan akuntabilitas sumber daya ekstraktif Indonesia, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia. Menurut PWYP, Indonesia kehilangan potensi pendapatan hingga Rp 235 triliun selama periode 2003-2014.
Potensi kehilangan pendapatan ini disebabkan oleh praktik penghindaran pajak usaha pertambangan mineral dan batu bara. Ribuan perusahaan tambang disinyalir tak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) sehingga tak pernah melaporkan surat pemberitahuan pajak. Akibatnya, royalti dan iuran tahunan yang menjadi kewajiban perusahaan menjadi tidak jelas.
Data Kementerian Keuangan mencatat pada 2011, ada 3.037 wajib pajak sektor tambang yang menyerahkan surat pemberitahuan (SPT) pajak dan 2.964 wajib pajak tidak melaporkan. Namun pada 2015, situasinya semakin buruk, yakni 2.577 wajib pajak yang menyampaikan SPT dan 3.642 wajib pajak lainnya tidak melaporkan SPT.
Tak hanya tambang, sektor industri minyak dan gas juga tak lepas dari persepsi negatif. Sejumlah masalah kerap mengemuka, seperti ketidakadilan bagi hasil antara pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, dengan kontraktor migas.
Kesan negatif tersebut muncul tidak lepas dari minimnya transparansi di industri migas, pertambangan dan mineral, atau dikenal dengan sektor ekstraktif. Menurut mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Erry Riyana Hardjapamekas, tertutupnya pengelolaan tambang dan migas menimbulkan kecurigaan berbagai pemangku kepentingan. Misalnya dari pemerintah, perusahaan, lembaga swadaya masyarakat (LSM) hingga masyarakat akar rumput.
Jalan keluarnya terletak pada transparansi pengelolaan. “Untuk mengurangi rasa curiga, transparansi menjadi kunci,” ujar Erry kepada Katadata. Transparansi akan memberikan sejumlah dampak positif lain seperti memicu investasi karena meningkatkan kepercayaan bagi investor. Dengan transparansi, kejelasan pemberian izin atau kewajiban terhadap pemerintah juga terjamin.
Pengalaman di banyak negara menunjukkan pengelolaan sumber daya alam yang disertai transparansi dan akuntabilitas telah berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi, serta menurunkan risiko korupsi dan konflik. Hal itu dikemukakan oleh Patrick Heller, Kepala Program Hukum dan Ekonomi dari Natural Resource Governance Institute (NRGI) dan Associate Professor dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Poppy Ismalina.
Kedua pakar ini mendesak pemerintah meningkatkan transparansi proses perizinan di sektor tambang dan migas. Menurut mereka, masih banyak ketidakjelasan proses perizinan dari pemerintah daerah. Secara umum, informasi yang tersedia bagi publik masih sangat sedikit. Peningkatan transparansi proses perizinan dapat memberi kepastian untuk mendapatkan skema perjanjian yang paling menguntungkan bagi pemerintah.
Bahkan, mereka menekankan transparansi terkait kontrak migas dan tambang perlu disampaikan kepada publik. Data-data mengenai penerimaan, total produksi dan informasi penting lainnya yang terkait produksi migas dan tambang juga harus dilaporkan.
Ini sejalan dengan semangat transparansi industri ekstraktif yang diinisiasi Extractive Industries Transparancy Initiative (EITI). EITI adalah standar internasional menyangkut pelaporan penerimaan negara dari industri ekstraktif yang prosesnya melibatkan pemerintah, perusahaan dan masyarakat sipil. Standar ini telah diterapkan di 46 negara. Indonesia bergabung dengan EITI sejak 2010. Penerapannya didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah yang Diperoleh dari Industri Ekstraktif.
Sayangnya kewajiban pelaporan itu belum sepenuhnya diikuti oleh perusahaan. Masih saja ada perusahaan yang enggan melaporkan penerimaannya. Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Kementerian Koordinator Perekonomian, Montty Girianna menuturkan saat ini belum ada sanksi bagi perusahaan migas dan minerba yang tidak menyampaikan laporan karena bersifat sukarela. “Pemerintah akan mengkaji skema dan peraturan agar perusahaan migas dan minerba mau melaporkan hasil rekonsiliasi penerimaannya,” katanya.
Pemerintah juga ingin mendorong mereka menjadi perusahaan publik di bursa saham. Dengan begitu, perusahaan akan mudah mendapatkan sumber pendanaan untuk ekspansi maupun memperbaiki struktur pembiayaan. Perusahaan juga lebih mudah mendapatkan akses perbankan dan pasar uang melalui penerbitan surat utang.
Menjadi perusahaan publik juga akan meningkatkan daya saing. Sebab, emiten dituntut meningkatkan kualitas kerja operasional sehingga reputasi perusahaan di mata publik juga akan meningkat.
Perusahaan publik juga dituntut memenuhi ketentuan pasar modal. Di antaranya adalah prinsip keterbukaan atau transparansi bagi perusahaan publik. Emiten wajib menyampaikan informasi tentang perusahaan secara lengkap dan akurat. Dengan menjadi perusahaan publik, kontrol atas perusahaan menjadi berkurang karena sebagian saham perusahaan dimiliki oleh investor publik.
Pemerintah sejatinya sudah mendorong perusahaan tambang melakukan penawaran umum saham perdana (IPO) di Bursa Efek Indonesia. Bahkan, Wakil Presiden Jusuf Kalla telah meminta Menteri ESDM Ignasius Jonan untuk merealisasikan keinginan tersebut.
“Kami akan minta Menteri ESDM untuk membuat aturan yang sejalan agar perusahaan yang menambang di wilayah Indonesia harus melakukan IPO,” ujar Jusuf Kalla pada awal 2017 seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Sejauh ini, perusahaan tambang yang berminat untuk IPO adalah PT Freeport Indonesia. Selain itu, PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) atau nama baru dari Newmont Nusa Tenggara juga berpeluang mencatatkan sahamnya di bursa.
Dengan mendorong perusahaan tambang menjadi perusahaan publik, tentunya lebih memudahkan pengawasan. Perusahaan juga akan menjadi lebih transparan. Untuk mewujudkan ini, pemerintah perlu memberi kemudahan berupa insentif bagi perusahaan yang tertarik menjadi publik. Pemerintah juga perlu menciptakan iklim investasi yang baik agar investor tertarik menanamkan sahamnya pada perusahaan tambang di Indonesia.