Mengungkap Setahun Tragedi Lion Air JT610 & Nasib Pesawat Boeing Max 8
Larangan Terbang Masih Berlaku
Lima bulan setelah kecelakaan pesawat Lion Air, pesawat Ethiopian Airlines dengan tujuan Addis Ababa ke Nairobi jatuh di Bishoftu hanya enam menit setelah lepas landas. Sebanyak 149 penumpang dan kru pesawat tewas.
Dua kejadian ini menempatkan Boeing dalam sorotan. Sejumlah otoritas penerbangan global langsung mengambil tindakan dengan menerapkan larangan terbang bagi seluruh pesawat Boeing 737 MAX pada Maret 2019.
Kinerja Boeing terpukul oleh kebijakan ini. Beberapa maskapai penerbangan yang memesan Boeing 737 MAX membatalkan pesanannya. Mereka juga meminta ganti rugi atas pesawat yang dikenai larangan terbang.
PT Garuda Indonesia Tbk yang memiliki satu pesawat Boeing 737 MAX meminta ganti rugi karena pesawatnya tidak bisa beroperasi. "Walau cuma satu pesawat, harusnya tetap minta kompensasi," kata Direktur Utama Garuda Ari Askhara, di Kementerian BUMN, Jakarta, Kamis (14/3).
Seperti dilansir CNN.com, tiga maskapai besar dunia merugi sekitar US$ 608 juta atau Rp 8,6 triliun akibat larangan terbang terhadap pesawat Boeing 737 MAX. American Airlines, yang memiliki 24 Boeing 737 MAX, memperkirakan kerugiannya mencapai US$ 350 juta atau Rp 4,9 triliun pada tahun ini. Sementara itu, Southwest Airlines yang memiliki 34 pesawat Boeing 737 MAX memperkirakan potensi kerugiannya mencapai US$ 200 juta atau Rp 2,8 triliun.
Norwegian Air Shuttle yang memiliki 18 pesawat Boeing 737 MAX menyebut potensi kerugiannya sebesar US$ 58 juta atau Rp 822,5 miliar. "Kami akan kirimkan semua tagihan ke Boeing," kata Juru Bicara Norwegian, Lasse Sandaker-Nielsen, seperti dikutip AFP.
Di seluruh dunia terdapat 350 pesawat Boeing 737 MAX yang tidak dapat beroperasi akibat larangan terbang tersebut. Hingga kini, otoritas penerbangan di sejumlah negara belum bersedia menghapus larangan terbang bagi Boeing 737 MAX. Federasi Penerbangan Amerika Serikat (FAA) menyebut larangan terbang bagi pesawat tersebut akan berlaku hingga awal Januari 2020.
Kepala FAA Steve Dickson mengatakan, tragedi jatuhnya pesawat Lion Air dan Ethiopian Airlines memunculkan kebutuhan untuk meningkatkan standar pelatihan bagi para pilot di seluruh dunia. Peristiwa tersebut juga menjadi titik balik bagi industri penerbangan untuk meninjau kembali pentingnya aspek keselamatan.
(Baca: 13 Negara Larang Boeing 737 Max 8 Terbang, Ini Daftarnya)
Kinerja Keuangan Boeing Tertekan
Dua kecelakaan besar yang melibatkan pesawat terlaris buatan Boeing ini menimbulkan tekanan terhadap kinerja keuangannya. Pada kuartal I 2019, perusahaan mencatat rugi US$ 793 juta atau sekitar Rp 11,1 triliun. Padahal, di kuartal I 2018 Boeing membukukan laba bersih US$ 4,67 miliar atau Rp 65,38 triliun.
Kerugian ini berlanjut hingga kuartal II 2019. Boeing melaporkan kerugian sebesar US$ 2,94 miliar atau Rp 41,16 triliun. Angka tersebut jauh dari laba bersih kuartal II 2018 sebesar US$ 2,19 miliar.
Pada kuartal III 2019, kinerja perusahaan mulai pulih. Berdasarkan data Statista.com, Boeing mencatat laba bersih US$ 1,17 miliar. Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, laba bersih produsen pesawat ini turun sebesar 51%.
Perusahaan tetap memproduksi Boeing 737 MAX sebanyak 42 unit per bulan meskipun para investor berharap produksinya lebih rendah. Boeing optimistis larangan terbang akan dicabut pada akhir tahun ini. Perusahaan sudah menetapkan target untuk meningkatkan produksi 737 MAX sebanyak 57 unit per bulan pada 2020.
(Baca: Kemenhub: Operasional Boeing MAX 8 Tunggu Otoritas Penerbangan AS)