Ancaman Sanksi Ekonomi AS untuk Iran dan Sejarahnya Sejak 1979
Sanksi Ekonomi Era Bush hingga Trump
Iran mengaktifkan kembali program pengayaan uranium di bawah kepemimpinan Presiden Ahmadinejad pada 2005. Presiden AS George W. Bush pun mengeluarkan Executive Order 13382 untuk membekukan aset-aset individu yang terkait dengan program nuklir Iran.
Gedung Putih bahkan membuat unit khusus di bawah Departemen Keuangan AS untuk memastikan sanksi-sanksi ekonomi terhadap Iran memiliki efek yang dahsyat. Beberapa entitas perusahaan asing dari Tiongkok dan Rusia juga terdampak sanksi ekonomi AS karena ketahuan membantu program nuklir Iran.
Pemerintahan Presiden Barrack Obama pun tak jauh berbeda. Sanksi-sanksi ekonomi bagi individu dan perusahaan diperluas. Sejumlah anak usaha bank asing dan anak usaha perusahaan AS harus membayar denda total senilai lebih dari US$ 14 miliar karena melanggar sanksi ekonomi. Sebagian besar pelanggaran terjadi karena adanya transaksi finansial atau perdagangan dengan Iran.
Pada Juni 2010, Kongres AS mengesahkan Comprehensive Iran Sanctions, Accountability, and Divestment Act (CISADA). Isinya, larangan bagi perusahaan-perusahaan asing untuk mengekspor produk turunan minyak ke Iran. Pada saat itu Iran harus mengimpor 30% kebutuhan bensin karena kualitas kilang minyaknya kurang bagus. Akibatnya, beberapa perusahaan minyak besar global harus menghentikan kerja samanya dengan Iran.
Pada 2012, diterbitkan The Iran Threat Reduction and Syria Human Rights Act yang membidik transportasi dan asuransi dari perusahaan-perusahaan minyak Iran. AS juga melarang perbankan asing bertransaksi dengan Bank Sentral Iran. Larangan itu tidak berlaku jika negara asal bank tersebut mengurangi pembelian minyaknya dari Iran secara signifikan per 180 hari.
Setahun kemudian, sanksi bertambah dengan adanya The Iran Freedom and Counter-Proliferation Act. Perusahaan-perusahaan asing makin terjepit. Mereka harus membayar denda jika melakukan perdagangan, menyediakan jasa transportasi, atau layanan finansial bagi industri minyak, otomotif, dan logam mulia Iran.
Pemerintahan Obama mulai melonggarkan beberapa sanksi untuk Iran pada 2013. Hal itu dilakukan setelah kesepakatan sementara yang diraih kedua negara atas isu nuklir.
Seperti dilansir The Business Times, Pemimpin Besar Iran, Ayatollah Ali Khomeini mengatakan salah kelola pemerintahan lebih berbahaya bagi rakyat Iran dibandingkan sanksi-sanksi yang dijatuhkan AS terhadap negara penghasil minyak itu.
Pada 22 Agustus 2018, Utusan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Idriss Jazairy menyebut sanksi-sanksi yang dijatuhkan terhadap Iran sangat tidak adil dan berbahaya. Penarikan AS dari kesepakatan nuklir Iran dengan negara-negara besar, yang kemudian diikuti oleh Dewan Keamanan PBB, membuat sanksi tersebut tidak berdasar.
Perdana Menteri Pakistan Imran Khan juga mendukung pernyataan Jazairy. Ia menyebut sanksi yang dijatuhkan AS atas Iran memengaruhi Pakistan yang merupakan negara tetangga Iran. "Hal terakhir yang diinginkan Dunia Muslim adalah konflik. Namun, Pemerintahan Trump justru mengarah ke sana," ujar Khan seperti dikutip Middle East Eye.
Bagaimana dengan pemerintahan Presiden Donald Trump? Setelah menarik diri dari perjanjian nuklir dengan Iran, pemerintahan Trump menjatuhkan sanksi bagi Khomeini dan orang-orang tdekatnya pada Juni 2019. Sanksi itu berupa memutus akses Khomeini dan para pendukungnya untuk mendapatkan bantuan atau sumber daya finansial.
Pada Juli 2019, AS mengenakan sanksi serupa bagi Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif. Terakhir, ancaman Trump untuk menambah sanksi ekonomi bagi Iran pascaserangan rudal yang dikirimkan negara tersebut ke pangkalan militer AS di Irak pada 7 Januari 2020.
(Baca: Bos Chevron: Pasokan Minyak Dunia Aman Biarpun Konflik AS-Iran Memanas)