Ekspor CPO Kena Pungutan Lebih Tinggi, Gapki Waswas Sawit RI Bisa Kalah Saing


Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) buka suara usai pemerintah menaikkan pungutan ekspor minyak kelapa sawit (CPO) dari 7,5% menjadi 10%. Kebijakan ini mulai berlaku pada 17 Mei 2025 sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 30 Tahun 2025.
Ketua Umum Gapki Eddy Martono menilai kenaikan pungutan ini akan menambah beban pelaku usaha dan berpotensi menurunkan daya saing harga sawit Indonesia di pasar global.
Akibat kenaikan pungutan, harga minyak sawit Indonesia jadi lebih mahal dibandingkan dengan negara tetangga. Padahal, pelaku industri sawit sudah menanggung tiga beban sekaligus yaitu pungutan ekspor (PE), bea keluar (BK) dan kewajiban pasok ke dalam negeri (DMO).
Sebelum adanya kenaikan pungutan, total beban yang ditanggung pelaku industri mencapai US$221 per metrik ton saat harga CPO berada di kisaran Rp14.000 per kilogram.
Oleh karena itu, Gapki akan terlebih dulu mencermati dampak dari kebijakan ini terhadap petani dan industri sawit. Jika dinilai terlalu membebani, Gapki tak menutup kemungkinan untuk berdiskusi dengan pemerintah.
“Kalau dirasa terlalu menekan harga TBS (tandan buah segar) petani, maka kita akan berdiskusi dengan pemerintah,” kata Eddy kepada Katadata.co.id, Kamis (15/5).
Terkait potensi penurunan ekspor CPO, Eddy mengatakan hal itu belum bisa dipastikan. Ia menilai dampaknya sangat bergantung pada kondisi pasar minyak nabati global.
“Belum tentu juga (ekspor turun), sebab tergantung kondisi minyak nabati lain. Kalau suplai minyak nabati lain bagus, ada kemungkinan akan menekan ekspor sawit Indonesia. Tetapi kalau suplai mereka terganggu, permintaan terhadap sawit kita tetap tinggi,” katanya.
Dasar Kebijakan: Dorong Hilirisasi dan Produktivitas
Pemerintah menetapkan kebijakan ini dalam PMK No. 30/2025 sebagai bentuk penyesuaian tarif layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan (BLU BPDP) Kementerian Keuangan.
Beleid ini diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 5 Mei 2025. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan nilai tambah produk hilir hasil perkebunan, khususnya bagi petani.
“Diperlukan penyesuaian nilai pungutan dana perkebunan atas ekspor hasil komoditas perkebunan dan/atau turunannya,” demikian bunyi konsiderans beleid tersebut.
Tarif pungutan ini berlaku untuk eksportir dan pelaku industri kelapa sawit, CPO, serta produk turunannya. Besaran pungutan ditentukan berdasarkan harga referensi CPO yang ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan.