Respons Apindo Soal Anjloknya PMI Manufaktur: Karena Kebijakan Tarif Trump


Asosiasi Pengusaha Indonesia mengatakan penyebab Purchasing Manager's Index atau PMI Manufaktur Indonesia terkontraksi pada April 2025 karena pasar terkejut dengan pengumuman tarif timbal balik atau resiprokal Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Ketua Umum Apindo, Shinta Widjaja Kamdani mengatakan kondisi itu menyebabkan pelemahan nilai tukar yang semakin dalam dan cost-push inflation yang signifikan di sisi produksi. Cost-push inflation adalah inflasi yang terjadi akibat kenaikan biaya upah dan bahan baku.
Kedua, pengurangan atau pembatalan pesanan ekspor dari pembeli di sisi permintaan, tidak hanya terjadi dari pasar AS saja tapi dari pasar global secara umum. "Karena mengantisipasi disrupsi di pasar global lain dan potensi resesi global yang meningkat,” kata Shinta saat dihubungi Katadata.co.id, Jumat (2/5).
PMI merupakan indeks yang menunjukkan performa sektor manufaktur sebuah negara. Secara rinci, index di bawah 50,0 poin menunjukkan kondisi kontraksi sektor manufaktur, sedangkan index di atas 50,0 menunjukkan kondisi ekspansif.
Lembaga pemeringkat S&P Global mendata indeks manajer pembelian atau PMI Manufaktur Indonesia turun 5,7 poin secara bulanan menjadi 46,7 per April 2025 dari 52,4 pada Maret lalu.
Shinta menyebut kontraksi PMI bulan lalu juga dikontribusikan oleh koreksi atau normalisasi permintaan di pasar dalam negeri pasca Lebaran. Dengan kondisi ini, Apindo memperkirakan PMI di bawah 50 (indeks non-ekspansif) masih dapat terus berlanjut setidaknya hingga akhir kuartal dua 2025.
Harapannya berharap kontraksi di bulan selanjutnya tidak sedalam kontraksi April 2025. Secara realistis, PMI Manufaktur Indonesia akan terus tertekan selama pasar domestik belum mengalami penguatan nilai tukar yang signifikan.
Kondisi itu juga akan bertahan selama Indonesia belum bisa menciptakan perubahan iklim usaha/investasi yang lebih efektif di lapangan. “Hal ini untuk melawan efek pelemahan kinerja manufaktur dari permintaan eksternal atau ekspor,” ujar Shinta.
Jika ingin memperbaiki angka PMI, pemerintah dapat melakukan dua langkah. Pertama, dengan menciptakan stabilitas dan penguatan nilai tukar dalam waktu dekat. “Idealnya, nilai tukar harus bisa dikembalikan ke level Rp 16.100 sebagaimana target asumsi anggaran pendatapan dan belanja negara (APBN) 2025,” ucapnya.
Kedua, menstimulasi produktivitas sektor riil dan penciptaan lapangan kerja di sektor formal untuk mendongkrak pertumbuhan daya beli kelas menengah domestik. Stimulus-stimulus ini perlu dilakukan dengan reformasi-reformasi struktural terhadap kebijakan iklim usaha/investasi, seperti deregulasi yang lebih efektif.
Melalui dua langkah tersebut, Shinta berharap iklim usaha/investasi nasional memiliki stabilitas, kepastian, dan prediktabilitas usaha yang tinggi untuk menarik investasi dari dalam dan luar negeri.
“Daya beli pasar domestik pun bisa didongkrak untuk menciptakan pertumbuhan konsumsi dalam negeri dan mengompensasi efek pelemahan permintaan manufaktur di sisi ekspor. Dengan demikian, PMI bisa terkoreksi ke level ekspansif,” katanya.