Perang Dagang Trump vs Cina Kembali Memanas, Apa Bedanya dengan 2018?


Perang dagang Amerika Serikat (AS) dan Cina kembali memanas. Presiden AS Donald Trump, yang kini menjabat untuk kali kedua, memulai babak baru konflik dagang dengan mengumumkan kenaikan tarif besar-besaran terhadap produk impor asal Cina.
Situasi ini mengingatkan pada 2018, saat Trump pertama kali melancarkan serangan tarif terhadap Beijing. Kala itu, kedua negara terlibat dalam pola "mata dibalas mata", saling menaikkan tarif sebagai bentuk balasan. Kini, pola serupa terulang.
Pada 2 April lalu, Trump mengumumkan kenaikan tarif 34% terhadap semua produk Cina yang sebelumnya sudah dikenakan tarif 20%. Tak menunggu lama, Beijing membalas dengan langkah serupa.
“Cina langsung merespons, sementara negara lain cenderung lebih berhati-hati dan memilih jalur negosiasi,” ujar pakar ekonomi Cina di King's College London Xin Sun pada Rabu (9/4), dikutip dari France 24.
Tak tinggal diam, Trump mengancam putaran tarif tambahan. Hasilnya, bea masuk terhadap produk Cina melonjak hingga 104% pada Rabu (3/4). Dalam pernyataan resminya, Kementerian Perdagangan (Kemendag) Cina langsung memberi peringatan.
“Jika AS terus meningkatkan pembatasan ekonomi dan perdagangannya, China punya kemauan kuat dan alat yang cukup untuk melawan hingga akhir," kata Kemendag Cina.
Keesokan harinya, Trump kembali menaikkan tarif khusus untuk China hingga 125%, sambil memberikan jeda 90 hari bagi negara lain untuk bernegosiasi.
“Karena Cina tidak menunjukkan rasa hormat terhadap pasar dunia, saya putuskan menaikkan tarif menjadi 125%, berlaku segera,” tulis Trump di Truth Social.
Trump mengklaim bahwa lebih dari 75 negara telah memilih jalur diplomasi dibanding balasan tarif.
Beda dari 2018
Namun, kondisi saat ini jauh berbeda dari enam tahun lalu. Menurut Xin Sun, “Situasinya sangat berbeda dari 2018 karena berbagai alasan.”
Ekonomi Cina sedang rapuh. Target pertumbuhan 5% nyaris tak tercapai. Ekonom politik di Goethe University Frankfurt Johannes Petry menyebut ekonomi Cina masih dalam transisi.
“Cina berusaha menjauh dari ketergantungan pada infrastruktur dan properti, menuju sektor teknologi,” katanya.
Tantangan Datang dari Dalam Cina
Ahli Cina di The Arctic University of Norway Marc Lanteigne mengungkapkan bahwa tingkat pengangguran di Cina tinggi.
“Standar hidup menurun, dan pemulihan pasca-Covid belum solid. Jika Beijing gagal meminimalkan dampak ekonomi, tekanan politik bisa datang dari internal elite pemerintahan," katanya.
Trump kali ini juga tidak dikelilingi oleh penasihat moderat seperti John Kelly atau H.R. McMaster pada periode pertamanya. Kini, tidak ada pengendali. Ia bebas menerapkan teori "madman", strategi luar negeri ala Richard Nixon yang membuat lawan percaya bahwa presiden AS bisa bertindak di luar nalar.
Washington juga mengincar negara-negara seperti Meksiko dan Vietnam yang sebelumnya digunakan eksportir China untuk menghindari tarif.
Cina Lebih Siap
Berbeda dari 2018, Cina kini lebih siap menghadapi perang dagang. “Sejak masa Biden, Cina sadar bahwa tarif akan tetap diberlakukan, dan mulai membangun pertahanan,” kata Lanteigne.
Cina juga berhasil mengurangi ketergantungan pada pasar AS. “Dulu ekspor ke AS mencapai 20% dari total ekspor Cina, kini hanya 14%,” ujar Xin.
Petry menambahkan, bahwa perdagangan Cina dengan negara-negara Global South kini bahkan melampaui volume dagangnya dengan negara G7.
Di sisi fiskal, Cina juga lebih luwes. Petry menilai Cina masih punya ruang untuk memangkas suku bunga, meningkatkan belanja, dan menerbitkan utang.
"Rasio utang pemerintah mereka tidak setinggi AS. Sementara defisit anggaran AS melonjak dari 4% pada 2018 menjadi 6% pada 2024," ucapnya.
Senjata Langka: Mineral dan Diplomasi
Cina juga bisa menekan sektor-sektor vital lewat kontrol ekspor mineral tanah jarang yang krusial untuk teknologi tinggi. “Saat ini kontrol hanya terbatas pada elemen tertentu. Tapi jika perang tarif makin panas, ekspor bisa dibatasi lebih luas,” ujar Xin.
Pilihan AS untuk menekan lebih jauh untuk kemungkinan terakhir adalah dengan sanksi ekonomi mirip Iran atau Rusia. Namun itu diyakini akan jadi opsi ekstrem.
Yang menjadi titik lemah strategi Trump adalah alienasi terhadap sekutu. Menurut Lanteigne, kalau saja Trump tidak menerapkan tarif pada Uni Eropa, Jepang, dan Korea, mungkin dia bisa menggandeng mereka untuk tekan Cina bersama-sama. “Tapi sekarang itu tampaknya sulit.”
Oleh karena itu, reaksi cepat Cina bukan hanya untuk merespons AS, tapi juga sebagai sinyal ke dunia. “Cina ingin menegaskan bahwa mereka tak akan mentolerir kebijakan tarif sepihak. Negara lain harus siap menghadapi konsekuensinya jika mengikuti langkah AS,” kata Xin.