PMI Manufaktur RI Ekspansif, Kenapa Banyak PHK dan Pabrik Tutup?

Rahayu Subekti
5 Maret 2025, 15:07
PHK, PHK massal, PMI manufaktur
ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/Spt.
Buruh berjalan keluar dari Pabrik Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat (28/2/2025). Pabrik tekstil Sritex yang dinyatakan pailit dalam putusan Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang akan menghentikan seluruh operasionalnya pada 1 Maret 2025.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Purchasing Manager's Index (PMI) Manufaktur Indonesia menunjukkan angka yang ekspansif sejak awal tahun ini. Berdasarkan laporan S&P Global Purchasing Manager’s Index Februari 2025, PMI manufaktur Indonesia meningkat ke level 53,6 dari bulan sebelumnya yang berada di angka 51,9.

“Ini (level PMI Manufaktur Indonesia) tertinggi dalam 11 bulan terakhir,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu dalam pernyataan tertulis, Senin (3/3).

Meski begitu, banyak pabrik yang berhenti operasi dan melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK sejak 2024 hingga awal 2025. PHK massal marak dan terjadi di berbagai sektor.

Industri tekstil menjadi salah satu sektor yang paling terdampak. Beberapa perusahaan besar seperti PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) dan PT Asia Pacific Fibers Tbk harus menutup operasionalnya.

Apa sebenarnya yang terjadi?

Daya Beli Masyarakat Lemah

Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda mengatakan, permasalahan Sritex dan beberapa pabrik yang tutup dalam beberapa waktu terakhir ini merupakan dampak dari kondisi daya beli yang melemah pada 2024.

“Kondisi daya beli ketika setelah Lebaran sangat parah dimana deflasi secara bulanan terjadi secara berturut-turut. Permintaan rumah tangga sangat terbatas, pertumbuhan konsumsi akhirnya tidak optimal,” kata Huda kepada Katadata.co.id, Rabu (5/3).

Dia menjelaskan, daya beli masyarakat baru mulai membaik di akhir 2024 seiring momentum Natal dan Tahun Baru. Kondisi makin baik di awal 2025 seiring dampak momentum jelang Ramadan. Adapun dalam kasus Sritex, menurut Huda, perusahaan tidak tertolong karena sudah dipailitkan.

Untuk itu, Huda menegaskan pemerintah perlu dengan cepat mengatasi persoalan daya beli. “Pemerintah harus meningkatkan daya beli dengan pemberian berbagai insentif,” ucap Huda.

Permendag Nomor 8 Tahun 2024 Perlu Direvisi

Selain faktor daya beli yang melemah, Huda menilai Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor mempersulit industri tekstil. Ia meminta pemerintah perlu segera merevisi aturan tersebut.

“Perlu revisi Permendag Nomor 8 Tahun 2024. Gunanya untuk melindungi produsen dalam negeri,” ujar Huda.

Dia menjelaskan, beleid tersebut membuat arus impor dari luar negeri menjadi lebih deras, khususnya di tekstil. Pada akhirnya, barang dari Cina dengan mudah masuk ke dalam negeri.

“Akibatnya mereka harus bersaing dengan barang impor yang harganya lebih murah. Ini yang menyebabkan banyak pabrik tekstil di Indonesia gulung tikar,” ucap Huda.

 

PMI Manufaktur tak Menggambarkan Kondisi Detail

Ekonom Center of Reform on Economics Indonesia, Yusuf Rendy Manilet menjelaskan,  PMI Manufaktur pada dasarnya merupakan angka agregat. Kondisi PHK dan PMI Manufaktur merupakan indikator yang tidak bergerak beriringan.

“Ini (PMI Manufaktur) kemudian tidak mencerminkan bagaimana kondisi yang lebih detail untuk perkembangan masing-masing industry,” kata Yusuf.

Menurut dia,  ada industri yang terekan, tetapi ada pula yang masih ekspansif. Industri yang mengalami tekanan lah yang pada akhirnya melakukan PHK massal.

“Ini kemudian tidak tercatat ataupun tidak tertangkap secara utuh dari indikator PMI Manufaktur,” kata Yusuf.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Rahayu Subekti
Editor: Agustiyanti

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...