Pembatasan Sosial Skala Besar, Sektor Manufaktur Pangkas Produksi 30%

Image title
1 April 2020, 17:44
Pembatasan Skala Besar, Industri Manufaktur Pangkas Produksi 30%.
ANTARA FOTO/RAISAN AL FARISI
Ilustrasi Industri tekstil. Pengusaha memperkirakan, kebijakan pembatasan sosial skala besar dan pelemahan permintaan barang saat ini berpotensi memangkas produksi industri manufaktur hingga 30%.
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk memutus rantai penularan virus corona, diperkirakan turut berdampak terhadap produktivitas industri manufaktur. Kalangan pengusaha memperkirakan, adanya kebijakan ini ditambah permintaan barang yang sedang lesu bisa memangkas produksi pabrik hingga 30%.

Hal itu berpotensi mengancam kelangsungan bisnis. Terlebih, hingga saat ini permintaan produk manufaktur turun lebih dari separuh, terutama untuk industri berorientasi ekspor akibat pandemi Covid-19.

"Industri manufaktur sekarang juga sedang mengalami penurunan ekspor lebih dari 50%. Sehingga produksinya mungkin turun di level 20%-30%. Beberapa perusahaan juga ada akan ditutup dulu sementara," kata Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani kepada katadata.co.id, Rabu (1/4).

Menurutnya, meski kondisi dunia usaha sedang memburuk, taoi kesehatan dan keselamatan masyarakat merupakan prioritas bersama. Oleh sebab itu, upaya pembatasan harus dilakukan secara tegas.

(Baca: Pukulan Dua Arah Virus Corona ke Industri Manufaktur)

Tak hanya manufaktur, kondisi serupa menurutnya juga dialami oleh industri perhotelan, retail dan pariwisata yang mana tingkat okupansi atau pemesanan kamarnya hanya tersisa 10%-15%. Sehingga bisnis di sektor ini terpaksa merumahkan sebagian besar karyawannya untuk menekan biaya operasional.

Kendati melakukan tindakan tegas dengan memberlakukan PSBB untuk mencegah penularan Covid-19, dampak negatif dari aturan tersebut dinilai dapat diminimalisir.

Pasalnya, pemerintah telah memberikan imbauan kepada pengusaha sejak jauh hari. Sehingga pengusaha seharusnya bisa mempersiapkan kemungkinan kondisi terburuk.

"Sebenarnya dampaknya ke dunia usaha relatif sudah tereliminir karena kami sudah melakukan perisapan dari beberapa waktu lalu," kata Rosan.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Hubungan Internasional menambahkan, beberapa sektor yang sangat terrpukul oleh  wabah corona seperti  pariwisata, transportasi dan retail menghentikan aktivitas dan merumahkan karyawan. 

"Untuk industri manufaktur juga ada penurunan kapasitas produksi karena juga keterbatasan bahan baku dan penurunan order," kata Shinta.

Namun demikian, adanya berbagai macam insentif yang disiapkan pemerintah diharapkan bisa menyelamatkan sektor yang terdampak.

"Saat ini tidak ada kata terlambat yang penting realisasi dari stimulus ini," kata dia.

(Baca: Sri Mulyani akan Tambah Jumlah Sektor Industri Penerima Insentif Pajak)

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo resmi menetapkan status kedaruratan kesehatan masyarakat untuk mengatasi pandemi virus corona di Indonesia. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan Presiden (Keppres) terkait status kedaruratan kesehatan masyarakat. 

Namun, untuk meredam dampak ekonomi yang ditimbulkan dari pandemi corona dan pembatasan sosial ini, pemerintah bakal memberikan tambahan insentinf hingga memperluas sektor penerima insentif. 

Pemberian Insentif

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan,  insentif yang telah diberikan dalam paket stimulus kedua belum cukup untuk menanggulangi dampak corona terhadap perekonomian, sehingga pemerintah meningkatkan insentif.

Hal ini dilakukan dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sehingga pemerintah dapat menambah pengeluarannya hingga sebesar Rp 405,1 triliun.

Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp 70 triliun ditujukan untuk mendukung industri. Dukungan terhadap industri diberikan berupa pajak dan bea masuk ditanggung pemerintah serta stimulus Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 ditanggung pemerintah berlaku bagi pekerja dengan penghasilan maksimal Rp 200 juta setahun.

Sektor yang menerima stimulus tersebut diperluas sehingga tidak terbatas hanya pada sektor pengolahan (manufaktur). "Termasuk pariwisata dan penunjangnya atau sektor lainnya yang langsung terdampak corona. Kami bahas sektor pertanian, perkebunan, dan lainnya," ujarnya.

(Baca: Sri Mulyani akan Tambah Jumlah Sektor Industri Penerima Insentif Pajak)

Adapun percepatan penyesuaian pemberlakuan PPh akan berlaku tahun ini. Kemudian, pembebasan PPh Pasal 22 Impor untuk 19 sektor tertentu diberikan bagi wajib pajak Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) dan wajib Pajak KITE Industri Kecil dan Menengah (IKM).

Selanjutnya, pengurangan PPh Pasal 25 sebesar 30% akan diperluas untuk sektor tertentu, meliputi wajib pajak KITE dan KITE IKM. Namun, sektor penerima tersebut masih dibahas. "Kami akan evaluasi. Kemarin hampir semua sektor industri meminta insentif PPh Pasal 25," ujar Airlangga.

Selanjutnya, restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dipercepat bagi 19 Sektor Tertentu untuk menjaga aliran dana dan likuiditas keuangan pelaku usaha.

Di luar insentif tersebut, pemerintah menurunkan tarif PPh Badan menjadi 22% untuk tahun 2020 dan 2021, serta menjadi 20% mulai tahun 2022.

Reporter: Tri Kurnia Yunianto
Editor: Ekarina

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...