KATADATA ? Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengumumkan, dari 21 wilayah kerja blok minyak dan gas, terdapat sepuluh wilayah kerja yang tidak laku. Wilayah tidak laku terdiri dari 3 wilayah konvensional atau blok migas penghasil minyak dan 7 wilayah nonkonvensional atau blok migas penghasil gas metana batubara dan gas serpih, atau shale gas

Direktur Pembinaan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Naryanto Wagimin mengatakan 10 wilayah tidak laku disebabkan oleh investor yang belum berniat untuk berinvestasi karena harga minyak dunia yang sedang rendah. Tren harga minyak turun telah terjadi sejak Juni 2014. Minyak jenis Brent Oil turun hingga 52 persen menjadi 55,63 US$/barel. Sedangkan minyak jenis West Texas Intermediate turun hingga 56 persen menjadi 46,99 US$/barel.

Anggota Komisi VII DPR Kurtubi, menyatakan bahwa iklim investasi migas Indonesia paling buruk se-Asia Tenggara. Dukungan pemerintah minim dalam hal insentif perpajakan, kemudahan perijinan, hingga bea masuk barang. Selama rentang 2009 - 2013, terdapat Rp 19 triliun kerugian Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) dari pengeboran 25 sumur pada ekplorasi 16 blok migas.

K3S juga kesulitan dalam pengajuan insentif. Contohnya terjadi pada ekplorasi blok East Natuna. Proses pengajuan tax holiday molor hingga setahun.  Selain itu, kontraktor juga terkena pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang nilainya melebihi anggaran eksplorasi.

Hal lain yang menyebabkan kurangnya minat terhadap wilayah kerja adalah waktu ekplorasi blok migas yang diberikan oleh pemerintah termasuk pendek. Sejak tandatangan kontrak, kontraktor diharap bisa segera memproduksi minyak dalam waktu 8 - 10 tahun. Hal ini berbeda dengan keberhasilan ekplorasi shale gas Amerika yang memakan waktu hingga 47 tahun sebelum tahap percobaan produksi.

Padahal dengan masa ekplorasi yang lebih panjang, ada peluang pemerintah bisa menemukan cadangan yang lebih besar. Data Indonesia Petroleum Association menunjukan belum ada lagi penemuan cadangan migas besar setelah penemuan lapangan Abadi di Masela, Maluku pada tahun 2000.

Reporter: Leafy Anjangi